Mohon tunggu...
Siswa Rizali
Siswa Rizali Mohon Tunggu... Konsultan - Komite State-owned Enterprise

econfuse; ekonomi dalam kebingungan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Layak Investasi & Risiko Ekonomi Global

12 Juni 2017   16:18 Diperbarui: 12 Juni 2017   16:21 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Bila kenaikan FFTR lebih merupakan risiko gejolak finansial, maka risiko dari perlambatan pertumbuhan ekonomi di China akan lebih berpengaruh pada ekonomi sektor riil. China merupakan kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi dunia saat ini. Dengan pertumbuhan ekonomi China sekitar 6,7%, maka China memiliki porsi 35% dari total 3% pertumbuhan ekonomi dunia di 2016. Amerika, sebagai ekonomi besar dunia dengan pertumbuhan sekitar 2%, hanya memiliki kontribusi kurang dari 10% terhadap pertumbuhan ekonomi dunia. Sedangkan ekonomi Eropa dan Jepang memiliki kontribusi masing-masing sebesar 8,5% dan 1,5% terhadap pertumbuhan dunia.

Paska krisis global 2008, intervensi pemerintah China terhadap ekonomi semakin besar. Akibatnya, ekonomi China semakin tidak berimbang, dalam artian semakin intensif di investasi infrastruktur, properti, dan gagal meningkatkan peran konsumsi masyarakat China. Sejalan dengan peningkatan intervensi pemerintah dalam ekonomi China, beban hutang meningkat tajam sedangkan pertumbuhan ekonomi tetap melambat. Rasio total utang terhadap PDB di China mencapai 260% di tahun 2016, naik dari 160% di tahun 2008, dengan utang korporasi mengalami kenaikan ke 156% PDB dari 100% PDB (Bloomberg). Pada saat beban utang bertambah, pertumbuhan ekonomi melambat, cadangan devisa menurun drastis sejak 2015, dan nilai tukar melemah; tanda-tanda utang tidak produktif dan semakin menjadi masalah bagi ekonomi China.

Penurunan peringkat ekonomi China oleh Moody's pada 24 Mei 2017 menjadi A1 dari Aa3 mengkonfirmasi peningkatan risiko beban utang di China.

Kesuksesan pembangunan China pada era sebelumnya sendiri sering dipersepsikan sebagai keberhasilan strategi pembangunan dengan intervensi pemerintah dan investasi infrastruktur. Bila stabilisasi ekonomi China gagal, akan menjadi titik balik bagi negara-negara yang mencoba meniru keberhasilan China, termasuk Indonesia. Ini mengingatkan penulis pada studi East Asia Miracle dari World Bank (1993), yang kemudian menjadi sangat kontras dengan peristiwa krisis Asia Timur 1998.

Potensi risiko kegagalan stabilasasi ekonomi China sendiri sepertinya masih belum diperhitungkan secara serius oleh pengamat ekonomi. Bila resesi China terjadi, akan menyebabkan perubahan ekspektasi dalam sistem finansial global yang dapat memicu krisis, khususnya di negara berkembang.

Penutup

Status layak investasi dari S&P dan kebijakan akselerasi investasi infrastruktur pemerintah potensial mempercepat pemulihan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Namun potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap terancam bila gejolak ekonomi global akibat kenaikan bunga The Fed Fund Rate dan perlambatan China berlanjut. Gejolak ekonomi dunia biasanya menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mempertahakan reformasi kebijakan ekonomi. Padahal pertumbuhan ekonomi jangka panjang hanya membaik bila reformasi ekonomi memberikan kebebasan kepada pelaku ekonomi untuk berinvestasi, berproduksi, berdagang, dan berinovasi. Khususnya di era global yang semakin kompetitif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun