Tulisan ini adalah ulasan detil atas posting "Kemana Jokowi Effect ???" (5 Oktober 2015).
Tulisan ini telah dipublikasi di harian KONTAN, 21 Oktober 2015, hal. 23 , dengan judul "Menyikapi Pudarnya Jokowi Effect".
===.
Setelah satu tahun kepresidenan Bapak Joko Widodo (Jokowi), Rupiah terdepresiasi 12% ke Rp 13.500. Meski Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat mengalami pemulihan sepanjang 2014 dan menembus titik tertinggi baru 5.523 (7 April 2015), saat ini IHSG telah turun 10% ke 4.522 (per 16 Oktober).
Indikator finansial lain, yaitu indeks harga Surat Utang Negara dari HSBC, juga koreksi sekitar 3% dibandingkan posisi di 20-Oktober-2014. Menariknya, harga SUN terus menurun meski kepemilikan asing naik dari Rp 324 Triliun pada awal 2014 ke Rp 524 Triliun (15 Oktober 2015).
Sedangkan pertumbuhan ekonomi saat ini sudah dapat dipastikan dibawah 5% per tahun dan sulit pulih dalam waktu dekat.
Indikator-indikator finansial dan ekonomi juga lebih rendah posisinya dibandingkan saat Bapak Jokowi dicalonkan sebagai Presiden (13 Maret 2014).
Kemana kah Jokowi Effect? Mengingat banyak pengamat ekonomi dan politik yang berspekulasi adanya efek positif terhadap ekonomi saat Jokowi dicalonkan atau terpilih sebagai Presiden. Efek positif dari kepresidenan Jokowi yang didengungkan antara lain: kenaikan IHSG, penguatan Rupiah, dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Buru-buru pengamat yang menyatakan adanya Jokowi Effect menyalahkan gejolak ekonomi global sebagai sumber permasalahan. Pengamat lain berargumen bahwa Presiden Jowowi tidak mampu melaksanakan program kerjanya kerena kurangnya dukungan politik. Ada juga yang berhipotesa, bila bukan Jokowi sebagai presiden, kondisi ekonomi Indonesia akan jauh lebih buruk.
Tentunya alasan tersebut tinggal alasan. Gejolak ekonomi sudah ada sejak 2008 dan terus berlanjut sampai sekarang. Sehingga pengamat yang menyatakan adanya Jokowi Effect tentu sudah mempertimbangkan gejolak ekonomi global tersebut. Paska 2008 berbagai gejolak ekonomi terjadi seperti: default-nya Dubai World (2009), krisis Yunani (2011), krisis Irlandia (2011), potensi kenaikan Fed Fund Rate (2013), dan perlambatan ekonomi China.
Kurangnya dukungan politik sudah jelas sejak awal pencalonan Jokowi, dimana kata-kata “sebagai Petugas Partai” menunjukkan keraguan PDI-P dalam mendukung Joko Widodo sebagai calon Presiden. Hipotesa ekonomi lebih buruk juga hanya berandai-andai karena sang pengamat sudah salah tebak.