Mohon tunggu...
Siswa Rizali
Siswa Rizali Mohon Tunggu... Konsultan - Komite State-owned Enterprise

econfuse; ekonomi dalam kebingungan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ketika Investasi Saham Menjadi High Risk, Low Return

28 Juni 2012   09:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:27 2348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun lalu, saat saham rally menembus titik tinggi baru di bulan Juli kami menegaskan bahwa investasi saham dalam kondisihigh risk, low return (dan ditegaskan disini).

Sampai saat ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih di sekitar nilai yang sama dibandingkan dengan tahun lalu. Sementara gejolak IHSG semakin meningkat. Ini lah yg dimaksud dengan High Risk, Low Return.

Hubungan risiko dan hasil investasi dalam saham tidak linier seperti dalam jargon investasi pasar yang efisien:Low Risk - Low Return, High Risk – High Return. Ada saatnya pasar finansial menciptakan peluang investasi Low Risk, High Return (era 2001-2003 dan 2009), di lain waktu menjadi High Risk, Low Return (era 2008 dan seperti 2011-sekarang). Yang menentukan kondisi hubungan risiko dan hasil investasi adalah valuasi.

Bila harga instrumen investasi (saham, obligasi, property, emas, dll) sangat murah, maka risiko investasi menjadi minimal, sedangkan potensi return menjadi sangat tinggi (Low Risk, High Return). Masalahnya bagaimana menilai sebuah investasi itu murah atau kemahalan? Atau bagaimana membedakan investasi “murah” dengan “murahan” (beda hanya imbuhan, tapi maknanya beda jauh). Disinilah diperlukan kejelian dari analis fundamental.

Secara sederhana, valuasi perusahaan sering menggunakan rasio keuangan seperti Price Earning Ratio (PER) dan Price to Book Ratio (PBV). Padahal rasio keuangan tersebut dihasilkan dari proses penilaian (valuation process) yang memerlukan ketelitian dan keahlian akan detil sebuah usaha.

Selain valuasi, faktor lain yang menentukan prospek bursa saham adalah: kondisi ekonomi makro dan sentimen investor (psikologis). Pada saat ekonomi makro sangat baik (misal: bunga rendah, kredit mudah, nilai tukar menguat, dan pertumbuhan ekonomi tinggi) cenderung mendorong valuasi saham naik. Kondisi ekonomi makro yang baik dan kenaikan harga saham membuat sentimen investor sangat positif. Euforia ekonomi yang kuat dan keuntungan investasi membuat investor semakin percaya diri dan sangat mudah melakukan ekstrapolasi bahwa sukses akan terus berlanjut.

Masih ingat euforia saham Bakrie cs dan saham komoditas ditahun 2007-awal 2008? Pada saat itu valuasi sudah mahal, kondisi makro masih sangat bagus, dan sentimen sangat positif.

Sebaliknya pada akhir 2008 – 2009: valuasi menjadi sangat murah, prospek makro hitam kelam, dan sentimen sangat negatif. Saat seperti ini lah peluang investasi “low risk, high return” terbuka.

Meski IHSG stagnan, ada satu hal yang sangat menarik: divergensi kinerja saham konsumer dan properti (semen, konstruksi, perumahan) dibandingkan saham2 komoditas (pertambangan dan agro). Saham-saham proksi konsumer (ASII, UNVR, GGRM, MAPI, JSMR, MNCN, MYOR, ACES) dan properti (semen, konstruksi, perumahan) mengalami kenaikan yang sangat signifikan sejak awal 2011, diatas 20% bahkan sampai 160% untuk MAPI. Kenaikan harga menyebabkan valuasi saham konsumer naik tajam dengan PER diatas 20X dan PBV diatas 3X. Terbalik dengan nasib saham2 komoditas (BUMI, INCO, ANTM, PTBA, ADRO, BYAN, ITMG, AALI, LSIP, SGRO) yang harganya turun drastis, dengan PER di sekitar 10X dan PBV dekat ke 1X.

Jadi meskipun saat ini IHSG terlihat murah, PER 14X dan PBV 2.5X, tapi itu terjadi dengan ketimpangan valuasi sektoral yg luar biasa. Lagi-lagi: optimisme yang berlebihan akan kekuatan ekonomi Indonesia membuat sentimen investor sangat positif terhadap saham konsumsi berorientasi pasar domestik sehingga valuasi menjadi mahal.

Meski ekonomi makro domestik Indonesia sangat positif, sebaiknya investor tetap hati-hati dan memantau kondisi makro China dan India. Kedua negara ini menjadi contoh keberhasilan intervensi pemerintah sejak krisis global 2008. Namun saat ini China dan India sepertinya menjadi korban kesuksesan tersebut, dimana semua mata tertuju ke mereka dan berharap keduanya memberikan sebuah solusi bagi masalah ekonomi dunia.

Saya pribadi malah ketakutan dengan tahapan krisis berikut:


  1. tahun 2008-2009 krisis Amerika,
  2. tahun 2010 krisis Dubai World,
  3. tahun 2011 – 2012 krisis Euro Zone,
  4. (mungkin kah) tahun 2013-2015 krisis Asia (tinggal pilih mana yang duluan semaput: India, China, atau Jepang, atau semuanya sekaligus. Setelah itu baru eksportir komoditas spt Australia, Canada, dan Brazil).

Bila menurut anda tidak mungkin India dan China terperosok dalam krisis perbankan, mungkin sebaiknya membaca yang berikut:

-Why Spanish Banks Seem Immune to the Subprime Virus (Wharton, Feb 2008)

-Spain's Bank Capital Cushions Offer a Model to Policy Makers (WSJ, Nov 2008)

-Time for Central Bankers to Take Spanish Lessons (FT.com, Sept 2008)

Maka saat ini anda bingung: mengapa Spanyol dulu dipuji-puji ya???

Dengan kondisi valuasi saham (khususnya sektor konsumer) mahal, kondisi makro Indonesia optimis (sementara makro global negatif), dan sentimen investor lokal sangat positif (terlihat dari pembelian reksadana saham yg agresif bila ada koreksi 10- 20%, lihat di http://aria.bapepam.go.id/reksadana/ ), maka saya tetap memposisikan portofolio investasi untuk kondisi high risk, low return. Hanya bila valuasi sudah murah, kondisi makro gelap (misal: Yunani/Spanyol/ Portugis keluar dari Euro, atau Jerman yg keluar Euro, rating investasi India downgrade, China krisis perbankan), dan investor putus asa, baru lah terbuka kembali investasi saham yang low risk, high return.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun