Sudah sejak seminggu lalu Tika membujuk opungnya agar mau menemaninya pergi ke kota sekedar mengirim paket untuk mamanya yang sedang bekerja diluar kota. Permintaannya tak pernah digubris oleh opungnya. Tapi Tika tak menyerah. Hari ini dia bahkan merajuk tak mau makan agar permintaannya tersebut dipenuhi oleh opungnya.
"Jadi kau masih belum mau makan? Sakit kau nanti, nang."
"Nggak. Sampai opung mau antar aku ke kota, ke kantor pos, pung." Gaya merajuknya yang lucu justru membuat opungnya semakin gemas.
"Makanlah. Besok kita ke kota. Apa rupanya yang mau kau kirim."
Tika bergegas masuk ke kamar mungilnya. Mengambil sekantongan coklat wafer dan coklat pasta dari dalam lemari dan menunjukkannya pada opungnya.
"Ini, pung. Aku mau kirim ini buat mama, pung." Tika dengan bersemangat menghamburkan seluruh isi plastik itu di hadapan opungnya.
"Opung tau kan alamat mama?"
Opung Tiur hanya mengangguk, menahan air matanya yang memaksa hendak turun deras seperti banjir bandang.
"Pake apalah kubungkus kadoku ini ya, pung. Nggak cukup lagi tabunganku buat beli kertas kadonya." Tika masih sibuk berceloteh dengan girangnya.
"Kumpullah lagi semua itu. Kau tunggu di sini. Opung ke rumah Tante Nur dulu. Ingat. Kau tak boleh keluar rumah. Kalau kau keluar rumah, opung batalkan perjanjian kita."
Opung Tiur melangkhkan kakinya ditemani air mata yang turun deras.
Tika sungguh masih terlalu kecil. Umurnya bahkan masih delapan tahun. Sudah setahun lalu ibu Tika harus merantau keluar kota demi melanjutkan hidup mereka. Tak ada pilihan. Ayah Tika memilih pergi meninggalkan Tika ketika masih di dalam kandungan.
"Pinjamlah dulu uangmu, Nur. Sudah terlanjur kuiyakan mau mengantar Tika ke kota besok." Opung Tiur memohon pada Nur.
"Mau apa rupanya kalian ke kota, pung?"
"Tika mau kirim kado ulang tahun buat mamanya. Kurasa, ongkos kirimnya pun sudah lebih mahal dari coklat-coklat yang dibelinya itu. Tapi bagaimanalah. Tak tega hatiku menolak permintaannya."
"Biarlah aku yang bungkus  kadonya itu, pung. Kebetulan besok malam aku mau ke kota."
 Perjalan dari desa mereka ke kota membutuhkan waktu semalam perjalanan. Cuaca sedang tidak terlalu baik belakangan ini. Hujan deras dan anging kencang hampir setiap hari menghambat aktivitas mereka.
"Tika, Tika ikut Tante ke kedai Opung Parlin, yok. Kita beli kertas kado buat mama."
Mendengar ucapan Nur, Tika sontak melompat kegirangan. Bibir kecilnya bernyanyi kecil.
Bulan oh bulan indah nian menawan
Engkau ciptaan Tuhan, penerang malam
Bulan oh bulan tanpamu malam kelam
Tak lelah kau berpijar hingga dating sang fajar
Ibunya selalu menyanyikan lagu itu ketika hendak menidurkan Tika.
***
Opung Tiur sudah menyiapkan bekal perjalanan mereka. Membungkus tubuh mungil Tika dengan pakain tebal dan jaket. Tika begitu bersemangat.
Coklat-coklat yang sengaja dibelinya sebagai hadiah untuk perempuan yang sudah melahirkannya itu adalah hasil tabungan yang dia sisihkan dari uang jajannya sendiri. Butuh perjuangan untuk Tika agar bisa memberikan hadiah istimewa untuk ibunya. Dia bahkan harus menahan rasa irinya pada teman-temannya yang bisa jajan tanpa harus menabung. Opungnya hanya memberikan uang jajan seadanya. Ibunya yang bekerja diluar kota hanya sebagai pembantu rumah tangga hanya mampu mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Tapi Tika sudah bertekad. Dia ingin ibunya juga tau betapa dia sangat mencintainya.
"Nang, bangunlah. Sudah sampai kita."Opung Tiur membangunkan Tika.
"Kita sampai di mana, pung?"
"Kita sudah di muka kantor pos, Nang. Tapi kantor posnya masih belum buka."
Wajah girang Tika berubah dalam hitungan detik. Ada mendung berisi butiran air yang bergelantungan di matanya. Â Dia kecewa. Tika tak paham apa yang disampaikan opungnya. Dia mengira kantor pos itu tutup sepanjang hari.
Tika berlari secepat kilat mengejar petugas yang berseragam. Tangan mungilnya masih menjinjing kado untuk ibunya yang tak dilepasnya dari gengaman sepanjang perjalanan.
"Aduh...." Tubuh mungil Tika terhempas ke tanah.
Telapak tangan dan lutut Tika terluka dan berdarah. Â Tika terjatuh. Dia bangkit dan berlari menuju kado kecil untuk ibunya yang sudah lusuh terkena becek. Â Dia tak menghiraukan sedikitpun luka ditubuhnya. Dia terus mengejar laki-laki berseragam yang tadi dilihatnya.
"Om....Om...." Tika berteriak sekuat tenaga sambil tetap berlari.
Berhasil. Laki-laki itu menoleh ke arah Tika.
Dengan napas terengah Tika memberikan bingkisan yang ada ditangannya kepada laki-laki itu.
"Om....Om, Tika mau kasih ini buat mama. Tolongin, Om. "
Laki-laki dihadapan Tika menatap Tika dengan haru. Bingkisan itu bahkan sudah lusuh karena becek dan bernoda darah karena tangan Tika yang terluka ketika terjatuh tadi.
"Tika ke sini sama siapa? Kok Om nggak liat ada orang dewasa yang mendampingi Tika."
"Ada Om. Itu..." Tika menoleh ke arah belakang .
"Pung, cepatlah. Ayok lari, pung." Tika berteriak agar opungnya dan Tante Nur mempercepat langkah kaki mereka.
"Tika, ini kan kadonya sudah kotor. Kita tuker kertas kado yang baru ya." Petugas kantor pos membujuk Tika.
"Jangan Om. Kertas kadonya lucu. Gambar bulan bulan Om. Waktu Tika kecil mama selalu nyanyiin lagu bulan oh bulan kalau Tika mau tidur. Â Kertas kado yang gambar bulannya uda nggak ada lagi Om." Tika menolak ala anak kecil.
Dia menyerahkan kembali kado itu pada petugas kantor pos. Matanya berbinar bahagia membayangkan ibunya akan sangat terharu menerima hadiah darinya.
"Pung, tangan sama lutut Tika pedih....."
***
Ma,
Tika rindu. 5 Juli kemarin mama ulang tahun. Maafin Tika kasih kadonya telat ya, Ma. Itu gara-gara opung Tiur, Ma. Mama sehat terus ya. Tika sekarang cuma punya mama dan opung.
Tika pengen cepat besar , Ma. Kalau Tika besar, Tika nggak bakal ijinin Mama kerja lagi, apalagi pergi jauh dari Tika.
Tika sayang Mama. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H