"Aku tak takut miskin. Sejak kecil aku bersahabat dengan rasa lapar. Tapi aku takut anak-anakku putus sekolah. Aku tak mau mereka bersahabat dengan rasa lapar." Jawabku dengan suara bergetar menahan tangis.
"Kan sudah kubilang, jangan seperti tak punya Tuhan."
"Tuhan memang memelihara burung di udara. Tapi Tuhan tak memelihara orang malas yang tak mau berusaha."
Plakkk....
Aku mendapatkan hadiah tepat di pipi kiriku.
"Maksudmu aku orang malas itu?"
Rasanya suamiku siap menelanku hidup-hidup. Matanya nanar. Wajahnya merah padam.
"Tuhan tak akan memberi makan orang yang sejak pagi sampai sore kerjaannya hanya tidur. Bangun hanya untuk bermain game, makan, dan buang air." Aku menggila.
"Bagimu nikmat bekerja seadanya, pasrah sama keadaan. Kalau ada yang manggil, kau kerja. Kalau nggak ada yang manggil kau tenang. Darimana kau peroleh ketenangan waktu kau lihat beras di dapur tak ada. Darimana kau bisa tenang waktu anak-anak sakit seperti kemarin dan  satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah menelepon keluargaku untuk minta bantuan dari mereka. Kau sehat, tak pantas kau meminta-minta untuk disantuni."
Pranggg...
Dia mengamuk. Menarik rak piring mungil kami dan memecahkan semua yang ada di dalamnya.