Cerpen 'Her Lover' karya Maxim Gorky ini sungguh berkesan bagi saya. Berkisah tentang seorang pelajar yang bertetangga dengan Teresa, seorang perempuan tinggi besar, gagah perkasa, kurang menarik dan buta huruf. Suatu ketika Teresa meminta bantuan si pelajar untuk menuliskan sepucuk surat kepada Boleslov, kekasihnya. Surat cinta yang romantis namun membuat si pelajar menahan geli, karena Teresa menyebut dirinya sebagai 'merpati kecil yang merana'.
Beberapa waktu kemudian, Teresa kembali meminta si pelajar menuliskan sepucuk surat lagi. Kali ini dari seorang pria kepada pacarnya yang bernama Teresa. Si pelajar mendadak sadar, pacar bernama Boleslov itu tidak benar-benar ada. Boleslov hanyalah imajinasi Teresa.
Namun dengan tegas Teresa menggugat kecurigaan si pelajar, “Look, now! You wrote me a letter to Boles, and I gave it to someone else to read it to me; and when they read it to me I listened and fancied that Boles was there. And I asked you to write me a letter from Boles to Teresa–that is to me. When they write such a letter for me, and read it to me, I feel quite sure that Boles is there. And life grows easier for me in consequence”
Teresa menciptakan Boleslov sebagai obat bagi rasa sepinya menghadapi kesendirian. Atau seperti yang disimpulkan si pelajar:
"The more a human creature has tasted of bitter things the more it hungers after the sweet things of life."
Sejak itu, secara berkala si pelajar menuliskan surat cinta untuk Teresa dan Boleslov. Dan saat mendiktekan suratnya, wajah Teresa terlihat sangat bahagia, pemandangan yang sulit dilupakan sang pelajar seumur hidupnya.
Dalam dunia nyata, ada banyak 'Teresa' yang menciptakan imajinasinya sebagai katarsis bagi keperihan yang dirasakannya. Tidak jarang pula, ada yang menganggap imajinasinya begitu nyata dan bukan sekedar katarsis. Mereka yang hidup dengan khayalannya dan gagal memahami realitas. Bahkan dalam hubungan dengan Sang Pencipta, kita seringkali berlaku seperti Teresa. Kita mengkhayalkan Sang Pencipta dengan sifat-sifat tertentu, terkadang begitu subyektif mengikuti hasrat kita, dan akhirnya kita khayalkan pula bahwa perilaku kita sudah sesuai dengan kehendak Nya, sementara yang lain belum. Lalu kita paksakan yang lain untuk seperti kita. Ini yang parah.
Sang Pencipta itu Maha Tinggi, begitu kompleks. Tak sanggup indra kita untuk benar-benar memahami Nya dengan utuh. Kita hanya bisa mencoba mendekati, merasakan fenomena-fenomena Nya, memahami Nya sepotong-sepotong, dan seringkali khilaf mengenali Nya sebagai sosok personal dengan sifat-sifat setara makluk.
Teresa mengkhayalkan seorang Boleslov yang mencintainya. Sedangkan kita mengkhayalkan Sang Pencipta yang hanya mencintai kita, bukan mencintai seluruh semesta. Kita tak beda dengan Teresa.
Tapi Teresa sadar, sesadar-sadarnya, bahwa cinta Boleslov padanya hanyalah imajinasi. Sedang kita tidak pernah menyadari bahwa apa yang kita sebut atas nama Nya, tidaklah benar-benar bisikan langsung dari Sang Pencipta.
Teresa berkesadaran, sedang kita tidak...