Mohon tunggu...
Muhammad ZulfikarYusuf
Muhammad ZulfikarYusuf Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

من لم يذق مر التعلم, تجرع ذل الجهل طول حياته

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Ke Mana Lagi Publik Harus Percaya?

6 Juli 2024   01:30 Diperbarui: 6 Juli 2024   01:32 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa waktu terakhir, kita telah menyaksikan bagaimana pemerintah secara serampangan menghasilkan produk hukum yang justru menciderai hak-hak masyarakat. Betapa tidak, dalam rentan waktu yang cukup singkat, pemerintah menerbitkan peraturan dan merevisi undang-undang dalam jumlah cukup banyak yang justru tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Ironinya, berbagai kebijakan yang dihasilkan tersebut justru cacat hukum dan hanya mengakomodir kepentingan segelintir golongan.

Rasa-rasanya, perjuangan untuk menegakkan keadilan dan mencapai kesejahteraan tampak sia-sia jika melihat apa yang terjadi hari ini. Amanat reformasi reformasi yang menjadi titik balik bagi kita untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara sirna oleh mereka yang haus dan rakus materi dan kekuasaan. Betapa sesaknya kita sebagai warga negara saat dipertontonkan dengan perilaku amoral yang justru dilahirkan oleh para pemegang otoritas di negeri ini.

Kita perlu menyadari, bahwa kondisi demikian akan terus terjadi saat hukum dan kekuasaan dipermainkan dan tidak ada suara yang menyadarkan dan menggerakkan. Akibatnya, masyarakat kecil akan terus menjadi komoditas yang diperdagangkan dan hanya menjadi objek yang tak berharga. Lingkaran setan kemiskinan yang menjadi musuh bagi banyak masyarakat kita justru akan terus langgeng. Karenanya, upaya untuk terus bersuara menjadi salah satu kunci untuk menggambarkan fenomena yang terjadi hari ini, sekaligus menyadarkan.

Tumpulnya Demokrasi

Sebagai salah satu dari empat cabang kekuasaan, media memiliki peran penting bagi setiap insan demokrasi untuk menyampaikan pikiran dan mengemukakan pendapatnya di ruang publik. Hal ini tentu diperlukan sebagai perwujudan sebagai sebuah negara demokrasi. Sejarah panjang Indonesia telah menunjukkan bagaimana media memainkan peran penting di dalam menjaga dan mengawasi berjalannya. Media menjadi semacam alat yang mampu mengawasi pemerintah dan kekuasaan dalam bertindak.

Namun demikian, para pemegang otoritas rasanya berupaya mereduksi peran media sebagai alat pengontrol kekuasaan. Revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran yang diajukan berpotensi membungkan karya jurnalistik dan suara pers, yang justru selama ini menjadi informasi bagi publik untuk mendapatkan fakta-fakta mutakhir. Salah satu poin bermasalah dalam draf tersebut adalah larangan siaran eksklusif investigasi. Padahal, salah satu tugas utama jurnalis ialah melakukan investigasi.

Di banyak kasus, jurnalis justru berperan sebagai pembantu pengungkapan kasus pada kejaksaan. Publik telah melihat bagaimana pers bekerja melalui investigasi untuk menunjukkan fakta yang terjadi di lapangan. Peran ini tentu sangat berharga untuk melihat proses hukum berjalan sekaligus sebagai bentuk transparansi. Saat peran pers, khususnya upaya untuk melakukan investigasi dibatasi, bukan tidak mungkin demokrasi kita justru semakin tumpul.

Terakumulasinya Kekuasaan

Salah satu amanat penting dari reformasi adalah penghapusan dwifungsi ABRI. Dwifungsi ABRI diklaim oleh banyak pihak sebagai sumber terjadinya KKN di mana militer memegang peranan penting dalam menjalankan pemerintahan. Fenomena ini mengakibatkan sistem pemerintahan tidak transparan sebab ABRI menguasai militer dan pemerintahan secara bersamaan. Selain itu, penyelanggaraan negara sering kali menggunakan cara-cara represi dalam mengendalikan kekuasaan, sehingga cenderung bepotensi melakukan pelanggaran HAM. Karena itulah, reformasi mengamanatkan untuk menghapus dwifungsi ABRI yang cenderung superior.

Tetapi demikian, amanat tersebut berpotensi dikhianati melalui revisi Undang-Undang (UU) TNI yang diusulkan oleh DPR dengan memberikan kelonggaran bagi militer untuk tidak lagi dibatasi dalam menduduki jabatan di kementerian maupun lembaga negara. Upaya untuk merevisi UU tersebut semakin memberikan keleluasaan kepada TNI untuk menduduki jabatan di instansi sipil. Padahal, pembatasan dominasi kekuasaan menjadi krusial sebagai bentuk akuntabilitas terhadap publik.

Ihwal ini diperparah dengan pengajuan revisi Undang-Undang (UU) Polri atas usul inisiatif DPR yang memperpanjang masa jabatan petinggi Polri dan justru menempatkan Polri sebagai institusi gemuk kekuasaan. Revisi ini juga memuat daftar kewenangan yang mengarah pada konflik kepentingan (conflict of interest) melalui perluasan kewenangan. RUU ini justru menciptakan institusi superbody yang menjerumus pada tindakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Dalam kondisi demikian, amanat mereformasi untuk menghapus dwifungsi ABRI hanya menjadi mimpi yang berada di menara gading, dan kebebasan sipil akan terus terancam.

Retaknya Palu MA

Persoalan terakhir yang menjadi puncak dari berbagai polemik hukum di negeri ini adalah putusan MA yang mengubah syarat usia gubernur untuk maju di Pilkada asalkan berusia 30 tahun saat dilantik. Banyak pihak menilai bahwa putusan ini memberikan karpet merah bagi anak Presiden, Kaesang Pangarep, untuk maju di Pilkada Provinsi. Bagaimana tidak, Kaesang yang baru akan menginjak usia 30 tahun pada Desember 2024, dapat mendaftarkan diri saat pendaftaran Pilkada dibuka di bulan November 2024, di mana Kaesang baru menginjak usia 29 tahun. Namun demikian, melalui amar putusan MA, Kaesang tetap dapat mendaftarkan diri asal jika terpilih dan saat dilantik menjadi Gubernur atau Wakil Gubernur telah berusia 30 tahun.

Di balik putusan itu, kita tidak dapat menjustifikasi bahwa MA memberikan ruang bagi Kaesang untuk maju di Pilkada Provinsi. Namun demikian, sangat mudah bagi publik untuk menilai bahwa putusan tersebut mengarah pada terbukanya jalan bagi Kaesang untuk mendaftarkan diri menjadi Cagub atau Cawagub. Walaupun pemilihan kepala daerah ditentukan oleh suara rakyat, putusan ini tidak dapat dibenarkan jika hanya memberikan ruang bagi orang-orang tertentu. Penetapan hukum tidak hanya dibaca pada amar putusan, tetapi juga perlu dilihat secara komprehensif sebagai sebuah proses. Implikasinya, hukum kita akan terus menormalisasi hal-hal demikian dan masyarakat kita akan selalu hidup dalam proses hukum yang tumpul.

           

Runtuhnya Kepercayaan Publik

Poin-poin di atas hanyalah sebagian kecil dari berbagai polemik yang terjadi akhir-akhir ini. Isu tentang potongan gaji 3% untuk Tabungan Perumahan Rakyat hingga Ormas Keagamaan yang boleh mengelola tambang, menjadi daftar panjang kebijakan problematik yang dihasilkan oleh pemegang kekuasaan. Kebijakan-kebijakan inilah yang sesungguhnya merupakan upaya untuk mendelegitimasi hukum dan demokrasi kita. Belum lagi ditambah perilaku para pengambil kebijakan yang tidak mencerminkan sikap seorang pemimpin. Dengan berbagai peristiwa yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir menjadi sinyal penting bagi mundurnya demokrasi kita di dalam berbangsa dan bernegara. Bukan tidak mungkin, saat pemerintah enggan mendengarkan suara akar rumput, kepercayaan publik akan hilang dan mimpi untuk mencapai Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi angan-angan semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun