Ratusan tahun lamanya bahan bakar fosil telah menjadi sumber energi utama untuk memutar jalannya peradaban. Oleh karena itu jika rajin menyimak sejarah, kita tahu banyak kisah penting dalam sejarah manusia di seluruh belahan dunia yang dilatarbelakangi perburuan minyak dan batu bara.
Setelah kesadaran mengenai ketersediaan bahan bakar fosil yang terus menyusut dan dampaknya yang kurang baik pada kelestarian lingkungan, pencarian dan penggunaan bahan bakar alternatif pun digiatkan. Program-program jangka pendek maupun jangka panjang dilakukan oleh pemerintah di seluruh dunia untuk menemukan sumber energi yang lebih ramah lingkungan.
Namun tetap saja sampai hari ini pemanfaatan energi yang bersumber dari bahan bakar fosil masih sangat mendominasi. Ambil contoh di negara kita, pasca debat cawapres beberapa waktu lalu, databoks.datakata.co.id merilis data dari kementerian ESDM mengenai bauran sumber energi yang digunakan di negara kita (data 2023). Berdasarkan data tersebut, bahan bakar fosil yaitu batu bara, minyak bumi dan gas bumi mengambil porsi sebesar 86,91% dan energi baru terbarukan (EBT) hanya sebesar 13,09%.
Sebagai informasi, pemerintah menargetkan penggunaan EBT sebesar 15% pada tahun 2022, namun realisasinya hanya 12,3% dan meningkat 0,79% saja sampai tahun 2023.
Memangkas Jejak Karbon
Usaha-usaha untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil harus terus dilakukan, pasalnya bahan bakar fosil menjadi menyumbang utama jejak karbon (carbon footprint) yang memicu terperangkapnya panas di atmosfir menjadi pemanasan global atau sering kita sebut dengan efek rumah kaca.
Secara singkat jejak karbon dapat didefinisikan sebagai jumlah karbon atau gas emisi yang timbul karena aktivitas manusia. Bukan saja karena penggunaan bahan bakar fosil secara langsung seperti misalnya transportasi dan pembangkit energi listrik, tapi juga karena penggunaan secara tidak langsung seperti proses manufaktur dan lain-lain.
Jejak karbon bisa dihasilkan oleh individu, sekelompok orang, bahkan oleh produk tertentu. Misalnya pakaian yang anda kenakan saat ini. Pada saat proses pembuatannya, mulai dari pemintalan benang, pembuatan kain, pemotongan sampai penjahitan meninggalkan jejak karbon, apalagi jika proses tersebut menggunakan mesin-mesin pabrik.
Begitu pula jika anda sedang menyantap buah impor saat ini. Buah tersebut sudah ikut menyumbang jejak karbon karena pada proses pengangkutannya menghasilkan emisi dalam jumlah tertentu mulai dari negara asal sampai ke atas meja makan anda.
Saat sedang berselancar di internet, ada pun ikut berkontribusi menghasilkan jejak karbon digital yang dihasilkan dari proses pengolahan dan penyimpanan data pada server-server raksasa. Belum menghitung jejak karbon yang dihasilkan dari proses pembuatan perangkat keras (gawai) yang anda gunakan untuk berselancar tersebut.
Dengan kata lain, hampir pasti semua aktivitas yang kita lakukan saat ini meninggalkan jejak karbon, kecuali kita ingin kembali ke zaman manusia purba ribuan tahun lalu, saat manusia masih hidup nomaden. Tapi itu mustahil, bukan? Â
Jadi untuk benar-benar menghilangkan jejak karbon itu tidak mungkin dilakukan. Yang bisa kita lakukan adalah menekan produksi jejak karbon sekecil mungkin melalui aksi-aksi secara perorangan atau kolektif. Cara termudah adalah mencari strategi bagaimana meminimalkan pemanfaatan energi, khususnya energi fosil, agar jejak karbon yang ditinggalkan juga lebih kecil.
Sebagai aktivis Credit Union yang berkecimpung dalam gerakan pemberdayaan masyarakat, saya bersama teman-teman sejak beberapa tahun lalu sudah menerima penyadaran mengenai kondisi lingkungan melalui sejumlah kegiatan pelatihan atau seminar. Dari sinilah saya semakin familiar dengan isu-isu lingkungan seperti climate change, koperasi hijau, jejak karbon dan lain-lain. Benang merah dari semua materi tentang lingkungan tersebut adalah: bumi kita saat ini sedang tidak baik-baik saja, sehingga harus ada kepedulian dan aksi bersama untuk kelestarian lingkungan dan masa depan manusia.
Kesadaran ini pun diimplementasikan pada materi-materi pelatihan untuk anggota Credit Union kami, karena bagaimanapun juga kepedulian dan aksi bersama ini harus dimulai dari kepedulian dan aksi setiap individu.
Untuk saya pribadi, aksi untuk mengurangi jejak karbon sudah dimulai dari hal-hal sederhana sebagai berikut:
Mengurangi Penggunaan Bahan BakarÂ
Berjalan kaki lebih sering adalah salah satu kiat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Jika ingin membeli sesuatu dengan jarak tempuh yang relatif dekat, saya lebih memilih berjalan kaki daripada menggunakan sepeda motor. Begitu pula jika akan berbelanja pada beberapa toko yang berdekatan, saya memilih memarkir motor pada satu lokasi, lalu berjalan kaki berbelanja ke toko-toko yang dituju tersebut.
Memang untuk berjalan kaki membutuhkan waktu yang lebih panjang. Oleh karena itu sebelum melakoninya, sebaiknya sudah dihitung dengan cermat mengenai waktu yang dibutuhkan. Selain mengurangi jejak karbon, manfaat lain dari berjalan kaki adalah membuat tubuh lebih sehat.
Cara lain mengurangi jejak karbon, khususnya di lingkungan kerja, adalah jika beberapa orang akan pergi ke satu tujuan, untuk kunjungan lapangan misalnya, dibanding menggunakan motor masing-masing kami biasa saling membonceng. Dengan demikian penggunaan bahan bakar lebih efisien dan kami bisa mengurangi gas emisi dari kendaraan kami.
Mengurangi Penggunaan ListrikÂ
Sebagian besar pembangkit listrik kita masih disuplai oleh penggunaan bahan bakar fosil. Oleh karena itu pemanfaatan energi listrik secara bijaksana juga dapat menjadi strategi untuk meminimalkan jejak karbon. Kiat-kiat menghemat energi listrik ini sebenarnya sudah menjadi pengetahuan umum dan setiap orang bisa mencari kiat sesuai situasi dan kondisi masing-masing.
Kebiasaan yang saya lakukan untuk menghemat penggunaan energi listrik ini antara lain: memadamkan lampu-lampu saat tidur di malam hari dan segera mematikan lampu teras di pagi hari, agar tidak kelupaan dan menyala berjam-jam lamanya.
Pada jam kantor khususnya di pagi hari, saya tidak buru-buru menyalakan AC dan memilih membuka jendela ruang kerja, berhubung suhu udara masih cukup kondusif untuk bekerja. Apalagi di musim penghujan seperti saat ini,
Kiat berikut adalah mencabut charger gawai saat tidak digunakan. Walaupun sudah tidak disambungkan ke gawai, kabel charger yang masih tersambung ke stop kontak masih menarik energi listrik. Tidak besar memang, tapi seperti kata pepatah, sedikit-sedikit lama-lama jadi bukit. Itu berlaku pula jika kita tidak menghemat energi listrik sekecil apapun itu.
Berikut, lampu-lampu yang digunakan di rumah semuanya adalah lampu LED. Memang dari segi harga lebih mahal dibanding lampu pijar. Tapi lampu LED mampu menghemat biaya listrik karena untuk daya listrik yang sama, cahaya yang dihasilkan lampu LED lebih terang dibanding lampu pijar. Lampu LED juga lebih tahan lama dibanding lampu pijar yang menggunakan filamen untuk mengubah energi listrik menjadi cahaya. Â Â Â Â Â .
Demikian beberapa contoh kecil mengurangi penggunaan energi untuk memangkas jejak karbon yang dihasilkan.
Sebagai aksi individu, mungkin terkesan tidak terlalu signifikan dampaknya pada lingkungan. Tapi jika aksi-aksi kecil ini menjadi menjadi aksi kolektif dan dilakukan semakin banyak orang, dampaknya pun akan jauh lebih besar.
Apalagi saat ini isu lingkungan telah menjadi kepedulian global sehingga berbagai pihak, baik swasta maupun pemerintah berbagai negara terus berupaya mengembangkan energi alternatif dan merumuskan regulasi-regulasi yang lebih berpihak pada kelestarian lingkungan. Jadi jangan ragu melakukan aksi untuk lingkungan sesuai kapasitas kita, sekecil apapun itu. Jika dilakukan sungguh-sungguh dan konsisten pasti memiliki kontribusi terhadap masa depan bumi kita yang saat ini sedang tidak baik-baik saja. (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H