Tikus-tikus di rumah semakin merajalela. Jika dulu mereka hanya berani berkeliaran di malam hari saat semua orang sudah terlelap, kini mereka juga sudah berani menunjukkan batang hidung di pagi, siang dan sore hari. Bahkan sudah tidak peduli lagi jika ada aku atau orang rumah di sekitarnya.
Mereka bisa seenaknya berpindah dari kolong meja ke kolong lemari padahal ada ibu di sana yang sedang menyiapkan makanan. Pun bisa seenaknya lalu lalang di ruang nonton, padahal ayah sedang menikmati serunya pertandingan bola di situ.
Jumlah mereka juga seperti berlipat-lipat dalam waktu singkat. Dulu hanya seekor atau dua ekor yang biasa berkeliaran, kini bisa tiba-tiba muncul lebih dari sepuluh ekor dalam waktu bersamaan.
"Diracun saja," suatu malam ayah berdikusi dengan ibu setelah dia hampir terjatuh saat keluar dari kamar mandi karena seekor tikus yang buru-buru mau bersembunyi di balik wadah beras menabrak kakinya.
Mereka kini duduk di atas sofa sambil menonton berita. Aku duduk di samping ibu.
"Bisa juga, Pah. Tapi kalau diracun, takutnya tikusnya nanti mati di tempat-tempat yang sulit dijangkau. Di plafon, misalnya," sahut ibu sambil menengadah. Memang ada juga beberapa tikus yang suka membuat gaduh di plafon. Mereka biasa naik turun lewat beberapa tiang kayu, kuseng dan ventilasi. Bahkan beberapa dari mereka saat ini sedang mengintip dari balik lubang-lubang di atas sana.
"Iya, juga," kata Ayah lagi. "Terus bagaimana, dong? Atau kita tambah kucing lagi? Itu si Oyen tidak ada guna-gunanya untuk urusan tikus." Ayah memandangku dengan ketus.
Untunglah ibu membelaku. "Huss! Jangan begitu, si Oyen ini kucing baik kok. Dulu-dulu dia juga kan suka menangkap satu dua tikus yang nakal. Tapi sekarang tikusnya memang kebanyakan," Ibu membelai punggungku dengan lembut. Aku begitu menikmatinya.
"Jadi bagaimana? Tambah kucing atau racun?" tanya Ayah lagi sambil beranjak untuk mengembalikan cangkir kopinya yang sudah tandas ke dapur.
Pertanyaan yang tidak pernah kutahu jawabannya, sampai keesokan pagi.