Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kita Semua Bisa Jadi Pilatus Dalam Versi yang Lain

7 April 2023   20:15 Diperbarui: 9 April 2023   10:36 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak usah berpikir terlalu jauh, kita bisa mulai dengan hal-hal sederhana di sekitar kita. Bersedia membersihkan area kerja sendiri di kantor sekalipun ada tenaga cleaning service, bersedia membantu teman kerja yang sedang kesulitan sekalipun itu berarti kita harus bekerja ekstra, bersedia membuang sampah di tempatnya saat berada di ruang publik seperti bioskop dan restoran, bersedia berbagi rezeki lewat proyek amal, bersedia mengurangi jejak karbon (mengurangi sampah plastik, hemat listrik, hemat BBM dan seterusnya) untuk mendukung lingkungan hidup dan lain-lain.

Tidak Objektif Memberi Nilai

Sering kali kita tidak bisa dengan merdeka memilah terang dari gelap, kebenaran dari kesalahan, kejujuran dari dusta. Penyebabnya adalah kita cenderung memberi penilaian secara subjektif. Siapa saja orang yang terlibat? Bagaimana hubungan orang tersebut dengan saya selama ini? Apakah keputusan ini berdampak menguntungkan atau merugikan bagi saya? dan seterusnya. Akibatnya adalah kita membuat keputusan yang bisa merugikan orang lain, entah kita sadari atau tidak.

Memberi nilai atau membuat keputusan secara jernih dan objektif masih jadi tugas yang berat bagi banyak orang, termasuk bagi saya.

Fenomena ini pun sudah terjadi sejak ribuan tahun yang lalu. Saat mengambil keputusan yang menyangkut nyawa orang lain pun, Pilatus masih menjadikan pertimbangan kepentingan pribadi sebagai pertimbangan utamanya.

Jadi apa yang harus dilakukan? Ya, mau tidak mau harus terus belajar, sekalipun tidak mudah. Kita juga bisa mulai dengan hal-hal sederhana.

Misalnya, di tempat kerja ada rekan satu tim (yang selama ini selalu kita anggap sebagai rival) ternyata mendapat promosi dan terpilih memimpin tim kita. Mungkin kita langsung menganggap ini karena kedekatannya dengan bos besar, atau dia menggunakan cara-cara yang tidak benar untuk mendapat posisi tersebut.

Nah, dibanding reaktif seperti itu, lebih baik kita belajar dari kualitas dan kinerja apa yang membuatnya terpilih pada posisi tersebut. Lalu dibanding membiarkan penilaian subjektif meracuni cara berpikir kita, bukankah lebih baik kita memberi apresiasi dan mendukung sepenuh hati agar kinerja tim lebih baik?

Memberi nilai atau membuat keputusan secara objektif, mungkin memang bisa berujung pada hal yang merugikan kita. Tapi hal ini tetap lebih bernilai, dibanding membuat keputusan secara subjektif yang pada akhirnya membawa dampak yang fatal bagi orang lain.

Mencampuradukkan Masalah

Para pemuka agama Yahudi saat itu tidak bisa menghukum Yesus secara langsung, jadi meminta legitimasi dari Pilatus sebagai wakil kaisar. Setelah mengadakan penyelidikan, Pilatus pun sebenarnya tahu Yesus tidak punya kesalahan apapun. Dia hanya jadi korban dari kebencian para pemuka agama.

Dari sini kita melihat, perselingkuhan agama dan politik sebenarnya sudah terjadi sejak dahulu. Jadi jika terjadi lagi di zaman modern, hal tersebut hanya pengulangan sejarah saja dengan versi yang lebih kekinian. Pelajaran yang bisa kita petik adalah campur aduk permasalahan seperti ini tidak akan membuahkan hasil yang baik.

Belum lama terjadi pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 oleh FIFA. Pemicunya adalah ada suara-suara penolakan dari sebagian politisi tanah air atas hadirnya tim Israel yang lolos kualifikasi. Kasus ini jadi polemik panjang sampai hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun