Sudah seminggu ini Oma Sara -- demikian orang-orang memanggilnya -- terbaring lemah di atas tempat tidur. Anak cucu bertambah sedih karena semangat hidupnya sudah nyaris di titik nadir, susah diminta makan dan minum, tapi ogah dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan lebih intensif.
"Kalau kalian mau buat saya cepat mati, ayok kita ke rumah sakit!" demikian jawabnya saat Melia, anak bungsunya ngotot memaksanya berobat ke rumah sakit. Melia didaulat 3 saudaranya yang lain karena Melia-lah yang selama ini paling dekat karena tinggal serumah dengan Oma Sara. Tapi alih-alih membuat hati Oma Sara luluh, permintaan itu membuatnya semakin keukeuh ingin di rumah saja. "Kalau kalian sudah tidak mau urus saya lagi, ngomong!" ucap Oma lagi dengan ketus lalu kembali menutup mata dan membalikkan badan. Melia dan saudara-saudaranya pun mundur teratur.
Itu peristiwa yang terjadi kemarin dulu. Oma Sara memang tidak pernah mau dirawat di rumah sakit. Menurutnya suasana rumah sakit yang justru membuat orang-orang jadi semakin sakit. Dokter dan perawat, alat-alat medis, belum lagi dilarang begini-begitu.
Pada usia menjelang kepala delapan, memang bisa dikatakan Oma Sara ini sosok yang kuat. Seumur hidupnya dia baru sekali dirawat lama di rumah sakit. Itupun karena operasi usus buntu puluhan tahun yang lalu. Jika sakit melanda, dia lebih memilih konsumsi obat-obatan herbal. Kalau memang perlu sentuhan medis, dia merasa lebih nyaman diperiksa dokter Syam, dokter keluarga mereka di rumah.
Kepergian Opa 6 tahun yang lalu sempat membuat kondisi kesehatannya juga drop, bahkan sempat diinfus di rumah saat itu.
Tapi dua tiga minggu kemudian Oma sudah bisa recovery dari dukacitanya. Oma dan mendiang Opa memang sejak muda sudah terkenal sebagai pebisnis tangguh. Mereka membesarkan bisnis ekspor kopi dari nol sampai jadi salah satu perusahaan ekspor di Makassar yang sangat diperhitungkan eksistensinya. Jadi untuk urusan jatuh bangun berkelahi dengan kehidupan, mereka sudah terbiasa. Ini yang membantu Oma Sara untuk cepat pulih dan menjalani kehidupan seperti sediakala.
Teladan mereka juga-lah yang membuat anak-anaknya bisa dikatakan berhasil di bidangnya masing-masing. Hery, anak pertama, seorang diaspora dan bekerja sebagai tenaga pengajar di Australia. Yang kedua, Risal, berhasil membangun restoran terkenal di Bali. Anak ketiga bernama Dina, bekerja sebagai dosen di Bandung. Yang bungsu, Melia memiliki usaha toko musik. Melia bersama suaminya, seorang notaris yang selama ini tinggal serumah dengan Oma Sara.
Rumah besar yang mereka tinggali sebenarnya masih sangat layak untuk dihuni 4 keluarga sekalipun. Hanya saja karena yang lain berada di luar kota, rumah besar itu terlihat kontras dengan penghuninya saat ini: Oma Sara, Melia bersama suami dan Elon, putra mereka dan serta satu orang ART.
Ini senja ke delapan sejak Oma Sara terbaring lemah. Semua anaknya sudah berada di Makassar sejak beberapa hari yang lalu. Sayangnya, penyebab kesehatannya menurun belum diketahui secara pasti. Dokter Syam sudah dua kali memeriksanya. Menurut dokter Syam tekanan darahnya cukup rendah dan meresepkan beberapa obat untuk sementara, sambil menunggu perkembangan kondisi kesehatannya.
Suara mesin mobil terdengar dari depan rumah. Itu Elon yang baru saja sampai dari tempat kerja. Setelah memarkir mobil, dia masuk dan langung menuju ke kamar Oma. Di sana sudah ramai. Ada Om Hery, Tante Dina dan suaminya yang sebentar-sebentar keluar kamar untuk menerima telepon. Juga ada Om Risal yang sedang membersihkan meja kecil untuk tempat meletakkan makanan dan minuman. Tadi dia berpapasan dengan mamanya yang sedang mengatur meja untuk makan malam.
Papanya yang juga nampaknya baru sampai rumah, mengajak mereka semua untuk bergantian makan malam.
"Bagaimana kabar Oma?" tanya Elon sembari duduk di samping ranjang dan menggenggam telapak tangan omanya.
Oma Sara menyahut dengan hanya membuka mata sebentar untuk melihat sosok Elon lalu kembali menutup matanya dengan lemah.
"Oma sudah makan?" tanyanya lagi. Kali ini pertanyaannya diarahkan ke orang-orang di sekitarnya.
"Iya, Elon," sahut Om Risal. "Buburnya hanya dimakan sedikit. Obat dari dokter Syam juga sudah dimakan tadi."
Elon mengangguk.
Sedih sekali melihat Oma dalam keadaan seperti ini. Biasanya rumah diramaikan dengan celotehan Oma tentang apa saja. Memang kadang dia suka kesal juga dengan pertanyaan-pertanyaan klise Oma seperti pertanyaan kapan dia akan menikah. Umurnya kan baru 26 tahun, masak sudah mikir-mikir berat begitu. Mending fokus mengejar karir dulu.
Tapi jika saat ini bisa memilih, dia lebih memilih mendapat pertanyaan itu setiap hari, dibanding melihat Omanya berada dalam kondisi sakit dan tidak banyak bicara seperti ini.
"Elon, biar tante yang jaga dulu," ucap Tante Dina lalu menyuruh Elon untuk berganti pakaian dan makan malam.
Elon mengiyakan. Tapi saat dia akan beranjak dari situ dan hendak melepaskan tangannya dari tangan Oma, dia merasa genggaman Oma lebih kencang. "Oma?"
Oma Sara membuka matanya lalu bertutur lemah, "Elon ..."
"Iya, Oma."
Mendadak keadaan jadi hening. Bahkan napas orang-orang di situ pun seperti tertahan, menunggu kelanjutan percakapan itu.
"Tidak tahu kenapa, Oma mau sekali makan nasi kuning."
"Hah? Nasi kuning?"
"Iyaa... nasi kuningnya Opa Hans ya,"
Kening Elon mengernyit. Nasi kuning Opa Hans memang tempat favorit Oma. Tapi selarut ini?
"Jam segini sudah tutup, Oma," timpal Elon hati-hati.
Oma mengembuskan napas panjang dengan tatapan kesal. "Iya, Oma juga tahu. Belinya besok pagi," sahutnya.
Elon tersenyum, "Oke siap, Oma. Saya perginya besok pagi-pagi sekali biar nasi kuningnya masih panas. Yang penting Oma harus cepat."
Tidak menyambung ucapan Elon, Oma meneruskan potongan ucapannya yang rupanya tadi tertinggal. "... tapi belinya langsung ke Opa Hans ya. Bilang saja mamanya Hery yang pesan."
Senyum Elon menyurut. Berbagai perasaan langsung berkecamuk di batinnya saat itu.
(bersambung besok)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H