Kompasianival, ajang kopdar para blogger terbesar di Indonesia akan segera digelar. Seperti biasa, dalam rangkaian kegiatan tersebut Kompasiana menggelar Kompasiana Awards yaitu penghargaan untuk para Kompasianer yang tersebar pada sejumlah kategori.
Nah, pada Kompasiana Awards tahun ini nama saya kembali berada di antara nominasi pada kategori Best In Fiction. Judul penghargaan ini cukup ngeri-ngeri sedap. Saya sendiri merasa masih harus banyak belajar menjadi blogger di genre fiksi.
Jadi apakah nominee pada kategori ini jadi sebuah beban?Â
Jawaban diplomatisnya, iya dan tidak. Iya, karena nama saya sudah terpampang di sana, di antara lima nama dari sekian banyak penulis fiksi lain yang tulisannya hebat-hebat. Tidak, karena toh tanpa award pun, saya tetap akan betah menulis di genre ini. Jadi kita skip saja teknis penghargaannya ya. Bisa jadi polemik kalau mau didiskusikan panjang lebar. Kita langsung kita ke catatan utamanya.
Mengapa Fiksi?Â
Sebenarnya pada awal menjadi Kompasianer, tulisan-tulisan didominasi oleh tulisan non-fiksi. Saya sering menulis pada kanal humaniora, lifestyle dan keuangan. Tapi seiring waktu (3-4 tahun terakhir ini) tulisan saya lebih didominasi oleh tulisan fiksi.
Sampai saat ini tulisan saya untuk kategori fiksiana sudah berjumlah 928 tulisan, baik cerpen maupun puisi. Kalau disortir lagi, puisi yang mendominasi tulisan tersebut. Ada sekitar 600-an puisi atau kurang lebih 66% dari seluruh tulisan fiksi saya. Awal perubahan haluan genre tersebut lebih karena faktor membagi waktu antara waktu blogging dan kerjaan. Semakin ke sini, kerjaan semakin menyita waktu sehingga waktu untuk blogging jadi lebih terbatas.
Untuk tulisan dengan non-fiksi biasanya saya bisa menghabiskan waktu 1,5 jam sampai 2,5 jam mulai dari riset (jika dibutuhkan), menulis draft, swasunting sampai tulisan ditayangkan. Lebih lama lagi jika lebih banyak data yang dibutuhkan untuk menuntaskan tulisan. Sedangkan untuk tulisan fiksi lebih singkat dari itu. Malah untuk puisi, setengah jam sampai satu jam sudah bisa kelar.
Tapi semakin lama saya jadi makin menikmati menghasilkan tulisan-tulisan dengan genre fiksi. Menulis non-fiksi baru akan dilakoni kalau memang ada ide atau fenomena menarik yang akan dijabarkan secara gamblang. Seringkali ide atau fenomena itu pun dikemas dalam bentuk fiksi.
Enaknya menulis fiksi (terutama puisi) adalah kita bisa melakukan eksplorasi ide dengan ruang yang lebih lebar dibanding non-fiksi. Oke, puisi memang bisa jadi media curhat kepada pembaca. Tapi lebih dari itu, kita bisa bermain dengan diksi dan metafora untuk mengungkapkan pikiran terhadap sebuah isu tertentu lewat puisi. Apakah isu tersebut dari peristiwa yang sedang aktual atau karena isu tersebut memang jadi perhatian bersama seperti isu lingkungan hidup atau sosial budaya.
Kita juga tidak perlu repot-repot menggurui pembaca lewat puisi kita. Ruang interpretasi dibuka selebar-lebarnya kepada pembaca. Kalau ternyata pembaca bisa satu frekuensi dengan penulis, ya syukur. Kalau tidak, ya tidak apa-apa. Ini berbeda dengan tulisan non-fiksi yang memang harus dibuat segamblang mungkin agar tidak multitafsir dan pembaca tidak salah menanggapi pesan yang hendak disampaikan penulis.