Hujan lebat baru saja berlalu dari langit malam metropolitan.
Dalam sepi di sudut kota
air merambat tumpah ruah di atas selokan.
Bayang-bayang bulan purnama pun
tergambar sempurna di atas riak air.
Seorang pemulung yang mendorong gerobak berhenti sejenak
memandang bayangan itu.
Seketika bayangan rembulan menjadi telur dadar yang mengepul
dia membayangkan menu serupa sudah tersedia di atas meja
sesampainya di rumah.
Tak lama kemudian seorang wanita bergaun dan bergincu merah
yang melangkah buru-buru juga berhenti sejenak di sisi selokan
bayangan bulan purnama itu seperti menohoknya keras-keras.
Ya, dia sudah telat tiga bulan ini
tanpa tahu siapa ayah benih dalam rahimnya.
Dia tidak berani menduga-duga di antara beberapa pelanggan
yang biasanya enggan menggunakan alat kontrasepsi.
Setelah wanita itu berlalu
Seorang laki-laki paruh baya menghentikan laju mobil mewahnya.
Dia turun untuk meninjau lokasi tanah yang baru saja dibeli
Bayangan bulan purnama di atas selokan
membuatnya terinspirasi membuat kolam raksasa
tempat berpasang-pasang manusia menikmati
bayangan purnama yang akan ditukar dengan rupiah demi rupiah.
Setelah pengusaha itu pergi
seorang sufi yang sedang berjalan kaki juga melintas di tempat itu.
Saat melihat bayangan rembulan
dia berhenti sejenak.
Sayangnya,
dia tidak punya banyak kesempatan untuk merenung
sebelum awan kelabu kembali menutupi langit.
Bayangan purnama pun buyar diganti oleh titik-titik hujan
yang semakin lama semakin deras.
Rembulan kini bernapas lega.
Orang-orang di bawah sana memberinya terlalu banyak definisi
padahal dia hanyalah purnama
tidak lebih atau kurang.
---
kota daeng, 7 november 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H