Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Ada Apa di Balik Kesaksian Susi ART Ferdy Sambo?

1 November 2022   20:04 Diperbarui: 2 November 2022   07:30 2224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Susi ART Ferdy Sambo. Gambar dari kompas.com/IRFAN KAMIL

Kebohongan yang satu akan diikuti oleh kebohongan yang lain agar kebohongan tersebut konsisten. Oleh karena itu para penegak hukum di pengadilan memiliki tugas berat menyibak kebenaran demi kebenaran untuk menghasilkan keputusan hukum seadil-adilnya bagi semua pihak.

Kita ketahui bersama kasus pembunuhan berencana dengan korban Brigadir Joshua sudah sampai ke tahap persidangan. Sudah beberapa persidangan digelar untuk memeriksa para terdakwa dan saksi. 

Persidangan terbaru yang digelar kemarin (31/10) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan adalah pemeriksaan terhadap terdakwa Bharada E dengan menghadirkan Susi, ART Ferdy Sambo (FS) sebagai saksi.

Persidangan ini cukup menyita perhatian. Masyarakat terbantu mengikuti jalannya sidang karena video persidangan cukup banyak beredar di portal pemberitaan.

Sejak awal kasus bergulir, saya sudah menaruh perhatian pada asisten rumah tangga FS ini karena namanya jarang disebut-sebut. Padahal dia ini saksi kunci yang penting untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di rumah Magelang.

Susi Mengubah BAP

Akhirnya tiba kesempatan bagi Susi untuk ikut berbicara sebagai saksi di persidangan kemarin. Tapi apa yang terjadi? Alih-alih bisa melihat kasusnya menjadi lebih jelas, kesaksiannya malah membuat kening kita berkerut karena bingung. 

Jangankan majelis hakim yang memang tugasnya menelisik kata per kata untuk mengungkap kebenaran, saya yang awam dengan hukum saja jadi geregetan mendengar tutur katanya.

Videonya cukup banyak bertebaran jadi pembaca bisa melihat sendiri apa yang terjadi. Singkat kata, menyimak kesaksian dari Susi terlihat jelas kalau kesaksian itu tidak organic (meminjam istilah media sosial). Kesaksiannya seperti sudah dipersiapkan atau didiktekan kepadanya sebelumnya.

Ini bisa terlihat dari diksi yang digunakan, informasi yang inkonsisten dan jawaban "tidak tahu" yang cukup sering dilontarkan. 

Beberapa jawaban "tidak tahu" ini pun tidak valid, karena begitu hakim mengganti format pertanyaannya ternyata Susi tahu jawabannya. Beberapa informasi Susi juga dibantah oleh Bharada E.

Bahkan Susi akhirnya mengemukakan penjelasan yang berbeda dari beberapa bagian BAP. Setelah dikonfrontasi beberapa kali oleh hakim, Susi pun menyatakan mengubah BAP, khususnya pada bagian Putri Candrawathi (PC) yang diangkat oleh Brigadir J dari sofa. 

Pada BAP Susi menjelaskan Brigadir J sempat mengangkat badan ibu PC dari sofa tapi setelah ditegur oleh Bharada E dan Kuat, PC diturunkan kembali. 

Sedangkan di persidangan Susi mengatakan Brigadir J baru akan mengangkat PC, jadi tidak sempat mengangkat PC dari sofa.  

Keterangan ini juga dikonfirmasi oleh Bharada E. Menurut Bharada E, Brigadir J meminta bantuannya untuk ikut mengangkat PC dari sofa. Hanya saja saat Bharada E mendekat, PC memberi isyarat dengan mengangkat telapak tangan agar Bharada E tidak perlu mendekat.

Terkait pengungkapan motif, ini sebenarnya bagian yang krusial jadi harus ditelusuri lebih lanjut. Tapi kita tidak akan menguliknya lebih jauh. Kali ini kita fokus ke keterangan Susi saja.

Pertanyaan besarnya adalah: apakah Susi mengetahui konsekuensi yang diterimanya jika ketahuan memberi kesaksian palsu di pengadilan? 

Jika belum, hakim, jaksa dan kuasa hukum Bharada E juga sudah kembali mengingatkan saat persidangan berlangsung. Ada pidana untuk pemberi kesaksian palsu dengan ancaman hukuman bisa sampai 9 tahun.

Tapi saya yakin sebelum masuk ke persidangan Susi sudah mengetahui dan memahami hal tersebut. Yang menarik untuk ditelisik adalah apa kira-kira yang terjadi sebelum persidangan. 

Mungkin pertanyaan-pertanyaan ini juga ada benak para pembaca sekalian. Apakah Susi sudah di-briefing sedemikian rupa untuk mengarahkan kesaksiannya? Apakah Susi berada di bawah tekanan saat memberikan kesaksian? Jika iya, seberapa besar pengaruh tekanan tersebut terhadap Susi? dan seterusnya.

Geregetan jadi Simpati

Tentu kita juga harus mempertimbangkan faktor lain seperti situasi dan kondisi persidangan yang juga bisa membawa pengaruh psikologis bagi saksi. Sebagai seorang ART, persidangan bukan situasi yang dialami setiap hari.

Menjawab pertanyaan-pertanyaan yang rinci oleh para pakar hukum terkait peristiwa yang terjadi berbulan-bulan sebelumnya tentu tidak mudah. Ini bisa saja membuat saksi memberi keterangan yang tidak valid atau tidak konsisten.

Apakah ketidakkonsistenan informasi terjadi karena pengaruh suasana sidang yang bisa mempengaruhi suasana pikiran saksi atau karena memang Susi mengikuti desain tertentu? 

Ini yang membuat saya juga berkunjung ke beberapa video berisi penjelasan beberapa pengamat hukum menanggapi kesaksian Susi tersebut. 

Dan hasilnya, kemungkinan besar yang terjadi adalah jawaban kedua. Sebenarnya ini juga sudah terkonfirmasi dari arah pernyataan-pernyataan majelis hakim pun saat menanggapi kesaksian Susi.

Tapi kemudian setelah dipikir-pikir lagi saya justru jadi kasihan pada Susi. Ya, rasa geregetan tadi berubah jadi rasa kasihan. Dia pasti tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini, terlibat dalam pusaran kasus maha besar. 

Jika dia bisa memilih, sudah pasti lebih baik mengerjakan pekerjaan di rumah seperti biasa dengan tenang dibanding duduk sebagai saksi kasus kejahatan dan dipelototi mata masyarakat seluruh Indonesia.

Susi ini orang yang tidak punya jabatan, kekuasaan atau pengaruh besar. Jadi dia hanya bisa pasrah mengikuti ke mana jalan kehidupan akan membawanya. 

Jika kesaksiannya tidak benar atau dibuat-buat, itu pun adalah bagian dari jalan kehidupan yang harus dilaluinya. Tentu dia tetap punya pilihan, berkata jujur atau tidak.

Seandainya pilihannya sesederhana itu dia pun pasti akan memilih yang pertama: Jujur. Berbeda ceritanya jika pilihan jujur dan tidak sama-sama memiliki risiko yang besar untuk kehidupannya bahkan nyawanya sendiri. 

Saat itulah dia harus menimang-nimang mana risiko yang paling "bisa diterima"

Dan justru karena itulah kita harus semakin memberi dukungan kepada aparat hukum yang terlibat dalam menyelesaikan kasus ini agar keadilan dan kebenaran ditegakkan setinggi-tingginya. 

Jika memberi kesaksian palsu, Susi jelas salah dan harus siap menanggung segala konsekuensi hukum yang mungkin terjadi. 

Tapi orang yang membuatnya berada pada posisi tersebut lebih jahat dan lebih besar dosanya. (PG)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun