Kemarin (25/7) Puan Maharani mengunggah pertemuannya dengan Muhaimin Iskandar ke media sosial via akun twitter @puanmaharani_ri. Keduanya merupakan representasi dari dua parpol nasionalis dan agamis, PDI-P dan PKB. Apakah pertemuan ini menjadi sinyal politik menuju 2024 nanti atau hanya sekadar pertemuan biasa yang tidak berarti terlalu banyak? Menarik untuk mengulasnya lebih jauh.
Tidak di kantor, tidak di rumah, pertemuan hari ini di warung pecel. Kenapa warung? Ya kenapa tidak, PDI Perjuangan dan PKB sama-sama partainya wong cilik, partainya wong sendal jepit. Akar rumput inilah yang menjadi energi perjuangan kami.
Demikian kicauan Puan Maharani sembari menyertakan dua foto pertemuannya dengan Muhaimin atau yang akrab disapa Cak Imin. Kicauan ini disambung lagi dengan kicauan demikian,
Pertemuan ini menjadi momentum bahwa kami tak hanya sepakat untuk bertemu sambil makan pecel, tapi juga bersepakat ke depan akan membangun bangsa dan negara ini bersama-sama.Â
Dilihat sepintas (tanpa tendensi) dua kicauan ini sebenarnya sangat positif: politisi yang menjadikan rakyat kecil (wong cilik) sebagai energi perjuangannya dan berorientasi pada pembangunan bangsa dan negara. Apalagi yang diharapkan dari para politisi selain tujuan mulia ini?
Jadi mestinya kicauan ini ditanggapi secara positif oleh warganet. Tapi apa yang terjadi? Sampai saat ini (saat menulis artikel) sudah lebih dari 7.000 komentar warganet terhadap kicauan pertama. Sayangnya, setelah saya baca, reply demi reply di sana didominasi oleh tanggapan negatif warganet.
Jika dipilah-pilah lagi, sekian banyak komentar bernada negatif tersebut bisa dikelompokkan menjadi 3 Â golongan berikut:
- Pendukung Jokowi tidak sama dengan pendukung PDI-P. Warganet pada kelompok ini mengingatkan PDI-P agar berhati-hati karena massa pendukung Jokowi belum tentu juga mendukung langkah PDI-P terutama jika blunder dalam penetapan capres atau cawapres 2024 nanti.
- Warung disambangi hanya menjelang pilpres. Warganet pada kelompok ini menanggapi dengan sinis kicauan tersebut. Mereka menganggap berkunjung ke warung, dekat dengan petani, dekat dengan masyarakat kecil dan aksi-aksi sejenis yang lain hanyalah polesan make-up politik saja setiap menjelang pemilu. Setelah itu para semua kembali ke dunianya masing-masing. Saya termasuk yang berkomentar di kelompok ini.
- Memutar kembali memori saat PDI-P masih menjadi oposisi. Masih sebelas dua belas dengan kelompok kedua di atas sebenarnya. Warganet membandingkan pernyataan-pernyataan PDI-P saat masih jadi oposisi pemerintahan dan saat menjadi "partai penguasa", khususnya terkait dengan kenaikan BBM saat ini. Saat itu PDI-P memang terkesan berdarah-darah membela rakyat jelata, tapi saat ini sebaliknya yang terjadi.
Jadi partai wong cilik hanya jadi trademark hampa.  Malah ada yang menimpali, betul itu partai wong cilik. Maksudnya, partai yang suka memanfaatkan suara rakyat kecil untuk kepentingan pejabat-pejabatnya saja.
Apa artinya ini?