Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Tidak On Time, tapi Tidak Masalah

26 Juni 2022   19:45 Diperbarui: 26 Juni 2022   20:05 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah Lagu Sempurna-nya Andra and the Backbone tuntas, pengeras suara coffee and eatery melantunkan lagu Just the Way You Are-nya Bruno Mars. Sebelum lagu Sempurna, yang diputar adalah lagu Cinta Luar Biasa dari Andmesh. Sebelum itu lagu You're Still the One.

Apa lagu-lagu cinta malam ini menjadi semacam pertanda bagi diriku?

Hampir setiap minggu aku mampir ke coffee shop ini. Lokasinya tidak terlalu jauh dari kantor dan aku suka suasanya. Tenang, teduh dan asri. Aku suka mengambil tempat di beranda lantai dua yang terhubung dengan udara luar. 

Selain karena bisa mendengar keriuhan khas jalanan ibu kota, dari tempat ini aku juga bisa mengedarkan pandangan bebas ke bintang-bintang berlatar langit malam.

Di sini ada satu meja panjang dan tiga meja kecil yang hanya available untuk dua atau tiga orang. Meja kecil di pojok dekat dinding yang digambar aneka doodle ini favoritku.

Biasanya aku sendirian, tapi malam ini aku sudah janjian dengan seorang gadis manis. Cewek penggemar warna merah, karyawan di kantor sebelah.

Kami pertama bertemu di rumah makan dekat kantor, tempat makan siang favorit para pekerja di sekitar situ, karena menunya lengkap dan harganya cukup terjangkau.

Siang itu lagi ramai benar. kelihatannya meja yang tersisa tinggal satu meja kecil di bagian belakang rumah makan. Aku berhasil duduk setelah melewati belasan meja lainnya yang sudah dipenuhi manusia. Tapi di saat yang bersamaan dia juga duduk di seberang kursiku.

Kami nge-freeze sejenak.

"Oh, maaf Mbaknya duluan tadi, ya?" tanyaku.

Dia mengangguk. "Tadi dari wastafel sebentar,"

"Oh iya maaf-maaf. Aku pikir tadi kosong," aku pun berdiri kembali "Nanti aku cari yang lain saja."

"Gak apa-apa kok. Sendirian saja kan? Sepertinya meja yang lain juga sudah penuh. Tuh yang baru datang ada yang sampai antri dekat kasir," sahutnya sambil tersenyum memamerkan lesung pipitnya.

Duh! Cowok mana yang kuat dengan senyum manis itu.

"Oke kalu gitu. Mbak, kerja di Pasifik kan? Sepertinya wajahnya familiar,"

"Panggil Ririn saja, Kak."

Kami bersalaman.

"Aku Roy. Panggil Roy saja. Kita tetanggaan kantor, aku di Royal Property,"

"Iya tahu kok,"

Dia tersenyum lagi.

Demikianlah awal pertemuan kami. Makan siang itu aku yang bayar walau dia awalnya ngotot mau split bill. Aku harus meninggalkan kesan baik di pertemuan pertama dong. Jadi aku juga ngotot mentraktir, jadi dia pun mengalah.

Setelah itu kami bertemu dua kali lagi di tempat itu. Walau tidak duduk semeja karena datang bareng rombongan, tidak seperti saat awal bertemu. Di pertemuan yang terakhir aku memberanikan diri mengajaknya ngopi. Tidak disangka, dia menyambut antusias, karena dia juga rupanya seorang coffeeholic.

Tapi ... waktu janjian kami malam ini mestinya setengah jam yang lalu. Cangkir kopi latte kedua sudah nyaris dingin tapi belum juga ada tanda-tanda darinya. HP-nya masih tidak aktif, dan chat-ku belum juga dibaca.

Apa si Ririn ini mau membuat semacam tes awal untukku? Atau dia memang orangnya pelupa? Atau malah memang kurang bisa dipegang kata-katanya? Entahlah. Aku masih kuat menunggu, sambil menyeruput kopi dan berselancar di media sosial. Masih sampai setengah jam lagi kalau perlu.

Tidak lama kemudian HP-ku mengeluarkan suara notifikasi. Ah, syukurlah. Itu pesan dari Ririn.

Roy, Sorry ... 

Hanya seperti itu. Aku mengernyitkan kening sejenak. Tapi setelah itu dia melakukan panggilan langsung. Aku menjawabnya segera

"Halo Ririn ..." aku berusaha mengeluarkan intonasi serileks mungkin.

"Roy sorry banget ya. Tadi aku ada meeting mendadak dan HP-ku ternyata mati. Memang tadi low batt sekali. Ini baru sempat di re-charge. Duh sorry ya, sudah bikin kamu nunggu."

"Iya, gapapa kok. Tapi ngopi-ngopinya tetep jadi kan?"

"Iya-lah. Yang penting kamu masih kuat nunggu ... ya, kira-kira 15-menitan lagi aku sampai di sana."

Aku tertawa renyah. Rasa gundah gulana yang tadi melanda kini sudah hilang sempurna. "Masih dong. Mau nunggu sampai tempatnya tutup, juga masih kuat."

Dia ikut tertawa.

"Atau mau sekalian aku pesenin?" tanyaku lagi.

"Gak usah. Nanti aja. Eh, aku bareng Wid dan Sheila nih. Gapapa kan? Mereka kelaperan katanya, jadi sekalian mau makan malam di sana..."

Aku terkejut. Jadi bukan berdua? Waduh, bagaimana ceritanya ini?

"Roy? halo? Nanti mereka aku suruh cari meja lain kok ..."

Wah leganya. "Iya gapapa, Rin. Kok disuruh pisah?" aku mencoba basa-basi.

"Biar saja. Percaya deh. Mereka itu obrolannya lain, bisa beda frekuensi sama kita nanti. Yang ada kamu nanti bosan sendiri. Hehe ..."

"Oh gitu,"

"Iyaa. Udah ya. Aku beres-beres dulu, Roy. See you ..."

"Oke. Bye..."

Kami memutuskan telepon. Walau masih harus menunggu lagi, tidak apa-apa. Mudah-mudahan date kami malam ini berjalan mulus.

Tiba-tiba terdengar suara lembut instrumen flugelhorn dari pengeras suara coffee shop, diikuti suara Bariton Tulus. Eh, giliran sudah ada berita gembira begini kok lagunya sekarang jadi lagu Hati-Hati di Jalan sih? 

--- 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun