Kabar penetapan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Indrasari Wisnu Wardhana, sebagai tersangka dalam kasus penetapan izin ekspor CPO mengejutkan kita semua. Bagaimana tidak? Saat sang menteri seperti "duduk di atas bara" gara-gara carut marut harga dan ketersediaan minyak goreng, eh dirjennya malah main mata dengan perusahaan eksportir minyak.
Kejagung menetapkan Indrasari Wisnu sebagai tersangka karena pemberian izin kepada eksportir dianggap melawan hukum, pasalnya pihak eksportir tidak memenuhi syarat DMO (Domestic Market Obligation)Â dan DPO (Domestic Price Obligation) untuk menjaga stok minyak dalam negeri. Oleh karena itu selain Indrasari Wisnu, Kejagung juga menetapkan tiga tersangka lain dari 3 perusahaan eksportir CPO tersebut.
Saat mengetahui berita ini, pikiran paranoid spontan menghampiri benak saya. Sudah ada beberapa menteri Jokowi yang tersandung kasus korupsi. Yang terakhir, masih segar di ingatan kita, Mensos Juliari Batubara yang jadi tersangka kasus korupsi bansos. Walaupun yang ditetapkan jadi tersangka dirjennya, tidak menutup kemungkinan ada pengembangan kasus yang bisa ikut menyeret Mendag Muhammad Lutfi.
Syukurlah, Pak Mendag memberikan tanggapan yang cukup kondusif terhadap kasus ini.
"Kementerian Perdagangan mendukung proses hukum yang tengah berjalan saat ini. Kementerian Perdagangan juga siap untuk selalu memberikan informasi yang diperlukan dalam proses penegakkan hukum," tutur Mendag Lutfi dalam keterangannya, Selasa (19/4/2022) sebagaimana dilansir kompas.com.
Pada artikel terkait, Mendag Lutfi mengungkapkan hitung-hitungan ketersediaan pasokan minyak goreng dalam negeri mestinya lebih dari cukup. Di luar produksi untuk konsumsi dalam negeri, alokasi dari Domestic Market Obligation (DMO) antara 14 Februari hingga 16 Maret 2022, bisa mengumpulkan 720.612 ton minyak sawit dari 3,5 juta ton total ekspor CPO. Dari jumlah ini telah distribusikan 551.069 ton. (kompas.com)
Berkaca dari konsumsi minyak goreng per Januari yang sebesar 591 ribu ton dan jika konsumsi minyak goreng setiap warga kurang lebih 1 liter per bulan, maka jumlah minyak goreng yang didistribusikan mestinya lebih dari kebutuhan. Jadi seharusnya di atas kertas tidak ada masalah kelangkaan pasokan.
Tapi kita ketahui bersama, kondisi aktual di lapangan tidak selalu sinkron dengan apa yang ada di atas kertas. Kelangkaan minyak goreng terus jadi polemik beberapa bulan terakhir ini dan sepertinya pemerintah cq kemendag sendiri masih bingung mengurai simpul-simpul permasalahannya.
Isu adanya mafia dan spekulan sebagai biang keladi masalah selalu menjadi jawaban diplomatisnya. Tapi siapa-siapa saja oknum tersebut belum pernah terlihat jelas sampai berita ini mencuat.
Akhirnya berita penetapan dirjen kemendag ini memperlihatkan arah telunjuk Mendag tidak sepenuhnya benar. Jika strategi menyelesaikan carut marut minyak goreng ini dianalogikan dengan sebuah perang, Mendag ternyata punya musuh dalam selimut. Tidak semua musuh berada di luar "meja kerjanya".
Dirjen yang memegang tombol yes or no terhadap para eksportir minyak pun ternyata ikut terlibat. Mafianya memang ada di luar, tapi kalau orang dalam juga terlibat dalam permasalahan, upaya-upaya untuk menjegal para mafia tidak akan pernah maksimal hasilnya.
Serapi dan secanggih apapun peraturan dibuat, kalau regulatornya ikut andil dalam melakukan pelanggaran, hasilnya tidak akan pernah efektif. Kasus ini adalah salah satu contohnya.
Mudah-mudahan pengungkapan kasus dirjen perdagangan luar negeri ini bisa ikut membantu mengurai simpul-simpul permasalahan carut marut minyak goreng kita. Bagaimanapun juga, harga minyak goreng sebagai salah satu kebutuhan pokok sangat besar pengaruhnya terhadap perekonomian masyarakat, bahkan terhadap stabilitas politik kita. Mari nantikan kelanjutan kisahnya. (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H