Rasanya sudah cukup lama tidak ada demonstrasi mahasiswa berskala besar seperti yang terjadi pada tanggal 11 April kemarin.
Terlepas dari segala polemik tentang latar belakang aksi tersebut, saya pikir demo seperti ini adalah sesuatu yang lumrah terjadi di negara yang menjunjung tinggi demokrasi seperti negara kita. Pun bisa menjadi semacam checkpoint perjalanan bangsa dengan segala dinamikanya. Apalagi jika kita simak, tuntutan aksi mereka cukup masuk akal untuk didengungkan dan sangat aktual dengan kondisi tanah air saat ini.
Dilansir dari kompas.com tuntutan mahasiswa tersebut antara lain sebagai berikut:
Mendesak dan menuntut Presiden Jokowi untuk bersikap tegas menolak dan memberikan pernyataan sikap terhadap penundaan Pemilu 2024 atau masa jabatan tiga periode.
Menuntut Presiden Jokowi menstabilkan harga dan menjaga ketersediaan bahan pokok di pasaran.
Mendesak Presiden Jokowi mengusut tuntas para mafia minyak goreng dan mengevaluasi kinerja menteri terkait.
Mendesak Presiden Jokowi menyelesaikan konflik agraria di Indonesia dan mendesak Jokowi-Ma'ruf Amin berkomitmen penuh menuntaskan janji-janji kampaye pada sisa masa jabatan.
Hanya saja segala macam bentuk aksi yang melibatkan begitu banyak orang memang rawan untuk disusupi dan ditunggangi. Lautan manusia membuat segala perbedaan (perbedaan atribut, kelompok dan pergerakan) menjadi bias. Tidak terlalu nampak lagi mana kawan mana orang asing, mana teman-teman sebarisan mana orang-orang yang menyusupkan diri, mana yang lurus menyuarakan tuntutan mana yang berniat bikin rusuh.
Di tengah lautan manusia, adrenalin juga meluap-luap sehingga sering kali rasio atau logika tidak terlalu digunakan lagi. Inilah yang membuat selalu ada keributan yang berujung konflik entah kecil atau besar pada aksi-aksi seperti ini.
Pagi tadi saat berselancar di beberapa portal berita untuk mengecek bagaimana jalannya aksi kemarin, saya melihat ada satu peristiwa yang cukup intens diberitakan. Ya benar, peristiwa pengeroyokan Ade Armando.
Sebenarnya keributan, perkelahian atau persekusi terhadap orang maupun kelompok kerap terjadi pada aksi-aksi seperti ini. Hanya saja karena Ade Armando ini tokoh yang cukup populer, peristiwa pengeroyokannya pun cukup banyak diekspos dan menghias pemberitaan.
Ditengarai orang-orang yang melakukan pengeroyokan itu adalah mereka yang tidak senang dengan sepak terjang Ade Armando di media sosial selama ini. Ade Armando dianggap sering mengkritisi agama Islam padahal dia sendiri beragama Islam.
Bukan hanya dibuat babak belur, Ade Armando juga nyaris dibuat telanjang di depan umum.
Aksi oknum-oknum pengeroyok tersebut memang biking geleng-geleng kepala. Ketidaksukaan kita pada pemikiran atau seseorang secara personal tidak lantas menjadi alasan melakukan tindak kekerasan, apalagi tindak kekerasan "secara berjamaah" kepada orang tersebut.
Apalagi Ade Armando juga mendukung penolakan terhadap isu presiden 3 periode dan berada di tempat aksi untuk menunjukkan dukungan terhadap tuntutan aksi tersebut. Namun sungguh apes nasibnya.
Nah, ramainya pemberitaan dan pembahasan pengeroyokan Ade Armanto ini di media sosial membuat saya jadi teringat satu event yang baru saja berlalu, balapan MotoGP di Mandalika.
Setelah event tersebut lewat, orang-orang justru lebih ingat nama pawang hujannya daripada nama pemenang balapan motornya.
Saya khawatir nasib aksi kemarin juga akan sama. Setelah demo mahasiswa berakhir, jangan-jangan yang diingat masyarakat bukan konten demonya, tapi peristiwa pengeroyokan Ade Armando-nya. Akhirnya demo yang mestinya membawa misi besar, jadi seperti iklan yang numpang lewat saja dan Ade Armando jadi bintang iklannya.
Mari kita doakan semoga Ade Armando yang sedang dalam masa perawatan bisa segera pulih kembali. (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H