Saya tahu kabar duka kepulangan Mas Hilman Hariwijaya dari lini masa Twitter, dikicaukan oleh akun Gramedia Pustaka Utama. Saya ingat lagi, novel Lupus yang fenomenal itu memang besar dari dapur cetak Penerbitan Gramedia.
Kabar duka tersebut, ditambah ucapan-ucapan duka dari warganet membuat ingatan saya loncat ke masa bertahun-tahun silam, di masa SMU dan kuliah. Saat itu Lupus menjadi kisah teenlit favorit saya. Saya mulai berkenalan dengan Lupus tahun 2000-an, sejauh ingatan saya. Cukup terlambat karena novel pertamanya rilis sejak tahun 1987.
Pembaca harap maklum, karena saat itu distribusi buku-buku bacaan tidak selancar saat ini terutama untuk kami yang tinggal di pelosok. Itu pun novel Lupus pertama saya (lupa judulnya) dapatnya karena meminjam punya teman. Saat kuliah di Makassar barulah mulai membeli beberapa bukunya dari hasil menyisihkan uang saku atau beasiswa dari kampus.
Sejak berkenalan dengan Lupus dan mengikuti sejumlah novelnya, saya pun mengenal berbagai karakter unik di sana. Lupus yang jadi tokoh sentral cerita adalah anak yang cuek, konyol, lucu tapi pintar, favorit cewek-cewek. Makanya banyak cewek yang jatuh hati kepadanya.
Ada Boim yang agak slengean dan selalu jadi korban penderita keusilan kawan-kawannya. Kemudian ada Gusur, teman Lupus yang paling nyastra dan paling doyan makan. Ada Fifi Alone, cewek yang terobsesi jadi selebritis. Ada Poppy, cewek pandai dan manis, cinta sejati Lupus, sayangnya kisah cinta mereka putus sambung seperti layangan.
Masih banyak karakter lain yang sudah samar-samar dalam ingatan. Bapak saya yang pensiun guru SMP pun punya tokoh favorit karena juga suka membaca beberapa novelnya. Tokoh favoritnya itu Mr. Punk, guru Fisika di SMA Merah Putih. Nama aslinya Pangaribuan, tapi namanya suka diplesetkan Lupus dan kawan-kawan karena masuk hitungan guru killer di sekolahan
Karakter demi karakter unik yang selalu sukses bikin senyum-senyum sendiri tidak bisa lepas dari tangan dingin seorang Hilman.
Tapi selain konyol dan kocak, beberapa kisah juga berhasil bikin kita ikut terhanyut. Saya pribadi suka dengan tarik ulur percintaan ala remaja pada hubungan Lupus dan Poppy. Kadang seperti saling cuek, tapi sejatinya mereka saling mencintai satu sama lain.
Di luar plot ceritanya, hal lain yang membuat saya betah membaca Lupus adalah menjadi lebih paham dinamika kehidupan khas remaja di metropolitan. Cerita Lupus mengambil setting kota Jakarta dan sekitarnya. Ini menjadi daya tarik tersendiri bagi remaja yang tumbuh dan besar di daerah yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan.
Tapi walaupun setting-nya beda, kita tetap bisa menangkap problematika khas remaja di sana. Kisah cinta ala remaja, proses pencarian jati diri, konflik-konflik kecil (maupun besar) dalam persahabatan dan lain-lain.
Ini membuat gaya bertutur Mas Hilman Hariwijaya dalam menulis kisah Lupus cukup memberi influence pada cara saya menulis cerpen, apalagi yang bergenre teenlit saat itu.Â
Sekarang sih sudah jarang bikin cerpen teenlit. Tapi menurut saya gaya bahasa yang mengalir lincah seperti cara Mas Hilman menulis Lupus, adalah cara menulis cerpen teenlit paling baik.
Kesuksesan novelnya membuat kisah Lupus pun diangkat jadi film. Ini membuat Lupus jadi semakin terkenal dan bahkan jadi semacam trendsetter. Mengunyah dan membuat gelembung dari permen karet serta gaya jambul duran-duran jadi penampilan yang digandrungi para remaja saat itu.
Singkat kata, Lupus dan kawan-kawannya telah memberi warna-warni yang indah untuk para remaja khususnya remaja tahun 80-90an. Bukan hanya di kota-kota besar, tapi sampai ke pelosok daerah. Rasanya jarang ada remaja tahun-tahun tersebut yang tidak mengenal Lupus atau paling tidak pernah mendengar namanya disebut di antara obrolan.
Akhirnya, Rest In Peace, Mas Hilman Hariwijaya. Terima kasih telah memberi karya yang manis untuk remaja Indonesia pada masanya.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H