Tapi walaupun setting-nya beda, kita tetap bisa menangkap problematika khas remaja di sana. Kisah cinta ala remaja, proses pencarian jati diri, konflik-konflik kecil (maupun besar) dalam persahabatan dan lain-lain.
Ini membuat gaya bertutur Mas Hilman Hariwijaya dalam menulis kisah Lupus cukup memberi influence pada cara saya menulis cerpen, apalagi yang bergenre teenlit saat itu.Â
Sekarang sih sudah jarang bikin cerpen teenlit. Tapi menurut saya gaya bahasa yang mengalir lincah seperti cara Mas Hilman menulis Lupus, adalah cara menulis cerpen teenlit paling baik.
Kesuksesan novelnya membuat kisah Lupus pun diangkat jadi film. Ini membuat Lupus jadi semakin terkenal dan bahkan jadi semacam trendsetter. Mengunyah dan membuat gelembung dari permen karet serta gaya jambul duran-duran jadi penampilan yang digandrungi para remaja saat itu.
Singkat kata, Lupus dan kawan-kawannya telah memberi warna-warni yang indah untuk para remaja khususnya remaja tahun 80-90an. Bukan hanya di kota-kota besar, tapi sampai ke pelosok daerah. Rasanya jarang ada remaja tahun-tahun tersebut yang tidak mengenal Lupus atau paling tidak pernah mendengar namanya disebut di antara obrolan.
Akhirnya, Rest In Peace, Mas Hilman Hariwijaya. Terima kasih telah memberi karya yang manis untuk remaja Indonesia pada masanya.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H