Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2021 (selanjutnya disebut Permendikbud) sebenarnya sudah sangat mumpuni untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual di lingkungan kampus. Peraturan ini juga menjadi solusi untuk melindungi para korban kekerasan seksual (KS) di lingkungan kampus yang sering tidak berani speak up, karena payung hukum yang kurang memadai.
Sayangnya, begitu permendikbud bergulir, sejumlah pihak menyatakan keberatan dengan peraturan ini. Sejumlah politisi, publik figur, bahkan yang terakhir MUI Pusat juga buka suara. Alasan yang kuat didengungkan adalah adanya frasa tertentu dalam peraturan tersebut yang berpotensi melegalkan terjadinya zina di lingkungan kampus.
Pertanyaannya, benarkah demikian?
Untuk menjawabnya, mari kita lihat lebih dekat permendikbud yang jadi polemik tersebut. Ini contoh Permendikbud Pasal 5 Ayat 2 mengenai definisi kekerasan seksual:
Frasa yang banyak dipermasalahkan adalah "tanpa persetujuan korban". Kalau korbannya tidak setuju yang syukur. Tapi kalau setuju, bagaimana? Bisa zina dong. Kira-kira demikian argumennya. Makanya ada yang minta frasa ini dihilangkan saja karena berpotensi melegalkan seks bebas di lingkungan kampus.
Di sini persis asal polemik muncul. Mereka yang kontra sampai ada yang sangat jauh deviasi tafsirannya. Di twitter beberapa hari ini cukup ramai dibahas. Ada yang sampai berandai-andai seperti ini,
"Bagaimana kalau ada mahasiswa mahasiswi yang berbuat mesum di tempat sepi, masih di areal kampus? Terus saat ketahuan sekuriti kampus, mereka tinggal bilang ini suka sama suka, jadi bukan kekerasan seksual."
Dan sejumlah andai-andai lain yang kurang lebih seperti itu. Sayangnya, twit sejenis ini juga dikicaukan oleh akun-akun yang bisa dikategorikan publik figur karena punya banyak follower.
Saya yang awam saja sampai tertawa lucu dan geleng-geleng kepala. Kalau definisi yang ada di kepala orang-orang pintar saja seperti ini, tidak heran kasus-kasus KS di negara kita tidak tuntas-tuntas dibenahi. Sampai perlu dibuatkan peraturan khusus oleh Menteri Nadiem.
Padahal frasa "dengan persetujuan korban" ini adalah kata kunci yang mengikat dan menjadi anchor dari permendikbud ini: bagaimana melindungi korban KS.
Menurut saya, kalau dua-duanya setuju ya berarti tidak ada korban atau pelaku di situ, bukan? Otomatis Permendikbud ini kehilangan legitimasinya pada kasus tersebut.
Tapi ini tidak sama dengan melegalkan zina! Zina ya tetap salah, sudah ada peraturan lain yang menanganinya. Selain aturan juga sudah ada norma sosial, norma budaya dan norma agama yang menjadi panutan dalam kehidupan bermasyarakat kita sehari-hari.
Jadi jika kembali pada ilustrasi nyeleneh di atas, saat sekuriti kampus mendapati sepasang sejoli sedang berbuat mesum, ya tetap ditindak dong. Itu kan tidak sesuai dengan norma sosial yang berlaku.
Selama ini sering juga kita dengar berita-berita seperti masyarakat dengan inisiatif sendiri melalui ketua wilayah setempat menertibkan kos-kosan "tidak benar", misalnya. Ini kan dilakukan bukan semata-mata karena mengacu pada permen atau undang-undang tertentu. Masyarakat memang tidak ingin pembiaran tindakan asusila terjadi di wilayah mereka.
Jadi permendikbud ini berguna untuk menambal celah pada aturan atau norma yang sudah ada. Celah-celah inilah yang membuat kasus KS masih sering terjadi di lingkungan kampus tanpa tindakan pencegahan atau sanksi yang memadai. Buat yang masih kurang berkenan dengan permendikbud ini, pintu judicial review di Mahkamah Konstitusi tetap terbuka lebar untuk digunakan.
Kesimpulannya, permendikbud ini sudah sangat baik untuk dijalankan. Jika melihat komposisi pasal demi pasal, terlihat Pak Nadiem dan tim penyusun benar-benar fokus pada perlindungan korban KS. Bagaimana definisi bentuk-bentuk KS, bagaimana hak-hak korban (termasuk pemulihan korban), bagaimana penanganan KS sampai mekanisme implementasi dan mekanisme evaluasinya.
Pak Nadiem pun tidak main-main dalam hal ini. Beliau bahkan sudah memberi peringatan, perguruan tinggi yang tidak melaksanakan permendikbud secara konsisten bisa terancam diturunkan akreditasinya. Mantap, Pak Menteri. Jangan kasih kendor!
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H