Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tidak Semua Pengalaman Harus Dijadikan Konten

13 November 2021   19:27 Diperbarui: 15 November 2021   16:13 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar dari pixabay.com

Kelakuan manusia di zaman media sosial ini kadang biking geleng-geleng kepala. Dahulu, pengalaman yang sifatnya pribadi paling jauh hanya ditulis di buku diary saja. Sekarang, nyaris tidak ada lagi rahasia bahkan untuk hal-hal yang sifatnya pribadi, karena beranda media sosial telah menggantikan peran buku diary tadi.

Kita jadi bisa tahu suasana hati seseorang, dia sedang happy, sedang sedih atau sedang marahan dengan kekasih hatinya, hanya dengan mengintip media sosialnya.

Media sosial telah mengubah gaya hidup dan pandangan kita soal ranah privat, disadari atau tidak. Akhirnya konten tentang kehidupan pribadi seseorang begitu mudah kita temukan di lini masa, bahkan tidak cukup sampai di situ. Dengan membanjirnya konten di lini masa, setiap orang berusaha menampilkan konten yang paling mungkin mencuri perhatian warganet lainnya.

Mereka yang paling menonjol kontennya pun sukses meraup banyak penggemar dan engagement. Lalu muncul istilah-istilah untuk menjuluki para pesohor media sosial: youtuber kondang, selebtwit, selebgram, dan sebagainya. 

Malah saat ini pesohor media sosial menjadi sejenis profesi baru, karena konten dan engagement mereka bisa dikomersialkan dan dikonversi menjadi rupiah.

Sayangnya, fenomena "view adalah segalanya" membuat sebagian orang jadi mengesampingkan pikiran, perasaan bahkan norma saat akan menciptakan dan mengunggah sebuah konten. Yang penting kontennya tampil beda dan sukses mendulang pengunjung, bodo amat dengan dampak yang bisa ditimbulkan konten tersebut.

Tiga hari lalu muncul kita dihebohkan dengan video "unboxing" motor superbike milik pabrikan otomotif Ducati di Mandalika, NTB. 

Sebenarnya pemeriksaan peti kargo motor tersebut sudah sesuai prosedur bea dan cukai. Yang disayangkan ada oknum petugas dari panitia lokal MGPA (Mandalika Grand Prix Association) yang merekam dan mengunggahnya ke dunia maya. Padahal peristiwa tersebut tidak layak untuk diekspos ke publik karena berpotensi memicu kesalahpahaman di antara para pabrikan motor.

Video tersebut lantas viral dan menjadi santapan warganet dan media, termasuk media asing. Kabarnya oknum petugas tersebut sudah diberhentikan karena kecerobohannya.

Mungkin yang mendorongnya mengunggah konten tersebut adalah keinginan berbagi pengalaman melihat langsung motor balap superbike yang biasanya hanya dilihat di layar kaca. Padahal sebelum mengunggahnya, mestinya dipikir-pikir dulu. Apakah hal ini etis dan dibenarkan? Apakah tidak ada ketentuan ajang balapan yang dilanggar dengan mengunggah gambar motor tersebut? dan seterusnya.

Kalau belum mengetahui persis jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut, mestinya jangan dilanjutkan dulu keinginan unggah kontennya.

Kembali ke judul artikel. Seringkali kita begitu mudah membagikan kepada dunia pengalaman-pengalaman hidup kita entah itu pengalaman yang baik atau kurang baik. Padahal menurut saya tidak semua pengalaman yang terjadi harus dijadikan konten dan diunggah ke media sosial. Bisa jadi karena kurang pantas, bisa berdampak kurang baik bagi warganet lain atau malah bisa mendatangkan risiko bagi diri sendiri.

Ini beberapa contoh di antaranya:

Konten tentang Anak

Konten tentang anak-anak memang selalu menarik untuk disimak. Tapi rasanya kurang elok kalau harus mengunggahnya secara berlebihan. Misalnya dalam sehari 10 kali update status dan semuanya tentang aktivitas si kecil. Pagi-pagi unggah foto si kecil lagi sarapan, foto si kecil siap-siap ke sekolah, agak siangan dikit foto si kecil makan es krim favoritnya, dan seterusnya.

Akhirnya alih-alih tertarik, teman-teman dunia maya lama-lama bosan melihat unggahan tentang anak tersebut.

Tidak ada masalah kalau unggahan masih dalam batas kewajaran, misalnya saat anak berhasil jadi juara lomba menggambar atau anak sedang melakoni belajar daring. Itu bisa jadi ungkapan kebanggaan orangtua.

Tapi kalau sudah berlebihan bisa berimbas menjadi hal yang lain. Jangan lupa di luar sana masih banyak pasangan-pasangan yang belum berhasil memiliki anak. Kita bisa sedikit bertenggang rasa kepada mereka.

Selain itu anak juga bisa jadi sasaran kejahatan setelah pelaku mempelajari media sosial orangtuanya. Misalnya di mana sekolah si anak, jam berapa anak pulang sekolah, siapa saja yang biasa menjemput, anak suka makanan apa saja, siapa saja orang dewasa yang dikenal si anak, dan seterusnya. 

Sudah ada modus kejahatan seperti ini jadi lebih baik waspada sebelum hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.

Pamer Barang-barang Mahal 

Ada juga orang yang senang mengunggah pembelian produk-produk mahal ke media sosialnya. Tujuannya ya memang mau pamer kepada khalayak.

Mungkin ada yang spontan berpikir, Ya, duit belanjanya kan duit dia. Bukan duit minta ke situ. Apa salahnya posting ke medsos? Kalau gak suka ya skip aja, mute atau blokir sekalian.

Tidak salah memang. Tapi sadar atau tidak prinsip seperti inilah yang membuat banyak konten-konten kurang sehat beredar di media sosial kita. Mute atau blokir bisa saja dilakukan, tapi itu bukan pokok masalahnya.

Dengan pamer-pamer barang mahal, kita kurang bertenggang rasa dengan orang lain yang sedang susah hidupnya. Apalagi banyak orang yang ekonominya jatuh imbas pandemi saat ini. Tidak semua orang bermain media sosial untuk hiburan karena hidupnya sudah mapan.

Selain itu, orang lain yang tadinya tidak punya niat apa-apa bisa muncul niat jahatnya begitu melihat unggahan barang-barang mahal kita.

Unggah Informasi Sensitif

Hati-hati mengunggah konten yang mengandung informasi sensitif. Misalnya nomor KTP, nomor rekening, nomor kartu keluarga, boarding pass, dan data-data lainnya.

Kadang ada orang yang karena excited bisa jalan-jalan ke luar kota atau luar negara, mengunggah begitu saja boarding pass-nya ke media sosial. Padahal berbekal kode booking atau barcode di boarding pass, seorang peretas dan mengakses informasi lebih banyak lagi tentang penerbangan tersebut. Bukan saja letak kursi, jenis kelas penerbangan, tujuan penerbangan dan seterusnya.

Peretas yang sudah mahir bahkan dapat mengetahui informasi terkait harga tiket bahkan nomor kartu kredit karena boarding pass tersebut terhubung ke sistem pembayaran. Dengan demikian peretas bisa saja mengubah nomor seat atau malah membatalkan penerbangan tersebut.

Mengerikan, bukan, jika informasi-informasi seperti ini jatuh ke tangan yang salah?

Ini hanya beberapa contoh kecil saja.

Sebagian pengalaman kita memang cukup untuk kita simpan sendiri saja. Kalaupun akan dibagikan ke orang lain, cukup dengan orang-orang terdekat saja tanpa perlu melibatkan media sosial. Jangan sampai pengalaman yang kita jadikan konten media sosial malah membawa dampak kurang baik ke orang lain, bahkan ke diri sendiri. (PG)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun