Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Semua Agama Benar, yang Salah Pemeluknya

21 September 2021   15:20 Diperbarui: 21 September 2021   15:42 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar dari pixabay.com/barbarajackson

Kalau semua agama benar, ya udah kamu masuk agama aku saja! Bagaimana? 

Beberapa kali saya melihat cuplikan diskusi tentang agama di lini masa yang berakhir dengan kalimat demikian.

Ini membuktikan masih ada sebagian orang yang salah pikir dalam menempatkan frase "semua agama benar" pada konteksnya. Frase ini sendiri sebenarnya sangat relatif kebenarannya, tergantung dari perspektif mana kita akan melihatnya.

Belum lama ini frase tersebut kembali mencuat. Diucapkan oleh Pangkostrad, Letjen TNI Dudung Abdurachman saat melakukan kunjungan kerja ke Batalyon Zipur 9 Kostrad, Ujungberung, Bandung, Jawa Barat, Senin (13/9) lalu. Pangkostrad memberikan pengarahan kepada anggota dan Persit Batalyon Zipur 9 mengenai bagaimana menyikapi hoax di media sosial dan mengindari fanatik yang berlebihan terhadap suatu agama.

Sampai tulisan ini ditayangkan, kutipan pengarahan dari Letjen Dudung Abdurachman masih bisa ditemukan di akun Instagram resmi Pangkostrad, @penkostrad. Ucapannya demikian,

Bijaklah dalam bermain media sosial sesuai dengan aturan yang berlaku bagi prajurit. Hindari fanatik yang berlebihan terhadap suatu agama. Karena semua agama itu benar di mata Tuhan.

Pada beberapa media sebenarnya cukup jelas diberitakan dalam konteks apa Pangkostrad menyampaikan statement tersebut.

Pangkostrad tidak berbicara dalam forum kajian ilmu agama atau sejenisnya, tapi memberi pengarahan kepada para prajurit untuk menjaga menjaga jiwa korsa terutama di tengah derasnya hoax yang bisa memprovokasi terjadinya fanatisme sempit dan menjadi sekat di antara prajurit yang satu dan yang lainnya. Dan menurut saya ini sudah tepat untuk disampaikan dalam kapasitasnya sebagai seorang pemimpin.

Sayangnya, pernyataan "semua agama benar" tersebut memicu respon negatif dari sejumlah pihak, termasuk beberapa tokoh MUI dan Ketua DPP PKS. Pernyataan mereka sudah menghiasi media daring kita beberapa waktu lalu.

Untunglah Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, sepakat dengan pernyataan Pangkostrad dengan argumen yang mudah-mudahan bisa lebih menjernihkan polemik ini. Menurut Yaqut, fanatisme perlu diarahkan ke diri sendiri untuk membuat pemeluk agama semakin teguh menjalankan agama yang diyakininya, tapi tidak perlu diarahkan ke orang lain, apalagi yang berbeda agama dan keyakinan.

Terhadap pernyataan Letjen Dudung, Yaqut sepakat kalau semua agama benar untuk pemeluk agamanya masing-masing. Inilah toleransi dalam kehidupan beragama.

Sebuah Refleksi

Polemik tentang pernyataan Pangkostrad ini bagi saya bisa menjadi sebuah refleksi, tentang bagaimana sebenarnya wajah agama yang ingin kita lihat. Di negara kita tercinta yang begitu majemuk, refleksi seperti ini selalu menarik untuk direpetisikan.

Tapi sebelum itu, perlu pembaca ketahui, saya bukan pakar agama, hanya seorang manusia yang juga masih berjuang untuk menjalani agama sebaik-baiknya. Jadi ini murni refleksi dari hati terdalam. Pembaca yang punya kapasitas keilmuan lebih tinggi dalam hal agama bisa urun rembuk memperbaiki tulisan ini.

Menurut saya, agama itu punya dua dimensi. Beberapa referensi yang sudah saya kulik menyebut lebih, tapi menurut saya semuanya tetap bisa dikerucutkan ke dalam dua dimensi ini. Dan mungkin biar lebih mudah dijabarkan saya akan menganalogikannya dengan raga dan jiwa.

Dimensi pertama atau raga, berarti semua dalam agama yang kasat mata, misalnya ritual, hukum-hukum, tata cara, ibadah, pengajaran, dogma dan sejenisnya. Singkat kata, dimensi raga ini mengikat pemeluk agama untuk mengikuti kaidah-kaidah tertentu.

Sedangkan dimensi yang kedua yaitu jiwa, berarti semua yang tidak nampak seperti nilai-nilai, spiritualitas, kebijaksanaan, keparipurnaan dan sejenisnya. Sekalipun tidak kasat mata, dimensi kedua inilah yang justru menghidupi dimensi yang pertama tadi. Dimensi kedua ini sifatnya lebih universal dari yang pertama. Karena tidak kasat mata, kita tidak bisa serta merta menilai penghayatan seseorang dalam dimensi kedua ini.

Dimensi pertama dan kedua dalam beragama bisa klop, tapi bisa juga tidak. Jadi tidak heran ada pemuka agama yang terlibat kasus pelecehan terhadap orang lain. Ada orang yang kelihatannya rajin menjalankan kewajiban agamanya, eh ternyata jadi terdakwa kasus korupsi, dan seterusnya.

Ini terjadi karena kita kadang lebih fokus pada dimensi agama yang pertama. Agama direduksi pada hal-hal yang sifatnya lahiriah saja. Tidak heran, kita mudah tersulut jika sudah berbicara agama terutama jika dikaitkan dengan agama yang lain. Pada dimensi yang pertama ini, satu agama dan yang lainnya akan sangat jauh berbeda. Agama yang mana yang benar? Semua pemeluk agama tentu saja mengklaim agamanya yang paling benar.

Tapi sebaliknya, jika mengambil sudut pandang dari dimensi yang kedua, kita akan melihat bahwa agama yang satu dan yang lainnya sangat dekat. Bukankah semua agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan, berbakti kepada Sang Mahakuasa, welas asih kepada sesama dan mencintai alam semesta?

Nah, mungkin ada yang langsung spontan berpikir, jadi kenapa ada orang yang berpindah agama karena merasa agama yang baru lebih baik dari yang sebelumnya? Menurut saya ini tidak perlu jadi masalah karena pengalaman spiritualitas adalah ranah privat seseorang.

Jika di agama yang baru orang tersebut menemukan panggilan hidupnya, ya berarti baik untuk diri dan kehidupannya, bukan? Ini tidak bisa kita jadikan dasar menghakimi agama tertentu. Toh fenomena pindah agama ini juga terjadi di semua agama.

Dengan melihat agama secara utuh pada kedua dimensi, kita tidak perlu menjadikan pernyataan Pangkostrad di atas sebagai sebuah polemik.

Lah, kalau semua agama benar siapa yang salah dong? Yang salah ya pemeluknya! Kenapa mau saja menjadikan agama sebagai sekat yang pada akhirnya membuat repot diri sendiri. Dengan beragama secara baik, apapun agamanya, seharusnya kehidupan kita sebagai masyarakat juga lebih baik, bukan malah sebaliknya.

Jadi jika kembali ke kalimat pembuka artikel, Kalau semua agama benar, ya udah kamu masuk agama aku saja! 

Seandainya kalimat itu ditujukan ke saya, secara spontan saya akan menjawab, bro, andai saja pindah agama itu sesederhana buka tutup akun medsos, saya sih mau saja. Lagi pula, di agama yang sekarang saja saya masih beragama senin kamis, padahal sudah dari lahir loh. Tidak ada jaminan di agama kamu kehidupan beragama saya akan lebih baik. (PG)

---

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun