Terhadap pernyataan Letjen Dudung, Yaqut sepakat kalau semua agama benar untuk pemeluk agamanya masing-masing. Inilah toleransi dalam kehidupan beragama.
Sebuah Refleksi
Polemik tentang pernyataan Pangkostrad ini bagi saya bisa menjadi sebuah refleksi, tentang bagaimana sebenarnya wajah agama yang ingin kita lihat. Di negara kita tercinta yang begitu majemuk, refleksi seperti ini selalu menarik untuk direpetisikan.
Tapi sebelum itu, perlu pembaca ketahui, saya bukan pakar agama, hanya seorang manusia yang juga masih berjuang untuk menjalani agama sebaik-baiknya. Jadi ini murni refleksi dari hati terdalam. Pembaca yang punya kapasitas keilmuan lebih tinggi dalam hal agama bisa urun rembuk memperbaiki tulisan ini.
Menurut saya, agama itu punya dua dimensi. Beberapa referensi yang sudah saya kulik menyebut lebih, tapi menurut saya semuanya tetap bisa dikerucutkan ke dalam dua dimensi ini. Dan mungkin biar lebih mudah dijabarkan saya akan menganalogikannya dengan raga dan jiwa.
Dimensi pertama atau raga, berarti semua dalam agama yang kasat mata, misalnya ritual, hukum-hukum, tata cara, ibadah, pengajaran, dogma dan sejenisnya. Singkat kata, dimensi raga ini mengikat pemeluk agama untuk mengikuti kaidah-kaidah tertentu.
Sedangkan dimensi yang kedua yaitu jiwa, berarti semua yang tidak nampak seperti nilai-nilai, spiritualitas, kebijaksanaan, keparipurnaan dan sejenisnya. Sekalipun tidak kasat mata, dimensi kedua inilah yang justru menghidupi dimensi yang pertama tadi. Dimensi kedua ini sifatnya lebih universal dari yang pertama. Karena tidak kasat mata, kita tidak bisa serta merta menilai penghayatan seseorang dalam dimensi kedua ini.
Dimensi pertama dan kedua dalam beragama bisa klop, tapi bisa juga tidak. Jadi tidak heran ada pemuka agama yang terlibat kasus pelecehan terhadap orang lain. Ada orang yang kelihatannya rajin menjalankan kewajiban agamanya, eh ternyata jadi terdakwa kasus korupsi, dan seterusnya.
Ini terjadi karena kita kadang lebih fokus pada dimensi agama yang pertama. Agama direduksi pada hal-hal yang sifatnya lahiriah saja. Tidak heran, kita mudah tersulut jika sudah berbicara agama terutama jika dikaitkan dengan agama yang lain. Pada dimensi yang pertama ini, satu agama dan yang lainnya akan sangat jauh berbeda. Agama yang mana yang benar? Semua pemeluk agama tentu saja mengklaim agamanya yang paling benar.
Tapi sebaliknya, jika mengambil sudut pandang dari dimensi yang kedua, kita akan melihat bahwa agama yang satu dan yang lainnya sangat dekat. Bukankah semua agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan, berbakti kepada Sang Mahakuasa, welas asih kepada sesama dan mencintai alam semesta?
Nah, mungkin ada yang langsung spontan berpikir, jadi kenapa ada orang yang berpindah agama karena merasa agama yang baru lebih baik dari yang sebelumnya? Menurut saya ini tidak perlu jadi masalah karena pengalaman spiritualitas adalah ranah privat seseorang.
Jika di agama yang baru orang tersebut menemukan panggilan hidupnya, ya berarti baik untuk diri dan kehidupannya, bukan? Ini tidak bisa kita jadikan dasar menghakimi agama tertentu. Toh fenomena pindah agama ini juga terjadi di semua agama.