Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Bulan Purnama di Atas Wajan

25 Agustus 2021   19:30 Diperbarui: 25 Agustus 2021   19:39 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar dari pixabay.com

Telur dadar adalah makanan kesukaan Tarno, terutama telur dadar racikan tangan Marni, istrinya. Padahal dari segi komposisi, tidak ada yang istimewa dari telur dadar itu. Bahannya sederhana saja: dua butir telur ayam, bawang putih, garam, merica, sedikit tepung dan jika uang belanja lebih, ditambah cacahan daun bawang dan potongan sosis.

Hanya dimakan bersama nasi putih dan sambal terasi pun sudah nikmat sekali rasanya. Paling tidak seminggu sekali, Tarno pasti meminta dibuatkan hidangan spesial itu.

Mungkin yang membuat rasanya selalu dikangeni adalah Marni tidak lupa menambahkan bumbu cinta di situ. Cinta, inilah yang membuat mereka tetap setia sebagai pasangan sejati, kendati sudah menikah bertahun-tahun dan belum dikaruniai buah hati.

Malam ini udara begitu dingin menggigit.

Jam di ruang tamu yang sekaligus jadi ruang penyimpanan botol-botol plastik bekas yang sementara disortir sudah menunjukkan pukul 6.40. Sebentar lagi Tarno pulang, membawa karung-karung botol plastik dan uang hasil penjualan hasil memulung hari itu.

Pagi tadi sebelum berangkat bekerja, Tarno minta dibuatkan telur dadar kesukaannya.

Ini yang membuat Marni kebingungan. Dia sudah kehabisan uang belanja.

Memang, nasi sudah selesai dimasak, minyak goreng juga masih ada sedikit, tapi untuk membeli telur dan bahan-bahan yang lain sudah tidak ada uang sama sekali.

Di atas rumah mereka yang sederhana, bulan purnama duduk megah di singgasananya. Terlihat bulat penuh dan semarak di langit malam.

Marni pun mendapat ide. Dia lalu menyalakan kompor, menuangkan sedikit minyak ke atas wajan dan memanaskan wajan di atas kompor.

Setelah itu dia mengambil bulan purnama dari langit malam dan meletakannya dengan hati-hati di atas wajan. Bundar bulan purnama pas dengan bulatan wajan. Bentuk dan teksturnya pun mirip-mirip dengan telur dadar yang biasa dibuatnya.

Marni tersenyum. Masalah makan malam sudah beres. Sekarang tinggal menunggu purnama di atas wajan itu masak sempurna.

Tapi tahu-tahu suara motor butut Tarno terdengar di luar. Marni sedikit terkejut. Dia mematikan kompor lalu bergegas ke depan rumah.

Tarno cukup letih, jadi tanpa membereskan terlebih dahulu dua karung setengah penuh yang masih tersampir di sadel motornya, dia langsung merebahkan diri di atas balai-balai bambu di beranda.

Ada yang aneh. Biasanya Marni sudah muncul dengan senyum manis di ambang pintu. Ke mana istrinya?

Tarno pun masuk ke dalam rumah.

"Marni?" panggil Tarno pada istrinya sedang tidur di kamar. "Kok, jam segini sudah tiduran?"

Marni bangun dan duduk di sisi ranjang sambil mengucek-ucek matanya.

"Sudah pulang, Bang?"

"Iya."

"Maaf ya, Bang. Uang belanja sudah habis. Aku tidak sempat buat telur dadar, jadi aku buat ..."

"Habis? Kamu bilang tadi pagi masih ada sedikit."

"Iya, Bang. Tapi uangnya aku pakai beli obat. Tadi gak tahu kenapa aku tiba-tiba demam. Siang tadi habis makan obat sebenarnya agak mendingan, tapi ..."

Tarno terkejut. Refleks dia meraba kening istrinya.

"Iya, ya. Obat demamnya masih ada?"

Marni mengangguk.

"Sudah makan?"

Marni menggeleng. 

Tarno menepuk jidatnya. "Ya udah, kita makan dulu. Tadi si Sarmin bayar utang yang dia pinjam bulan lalu. Aku pakai duit itu dulu untuk beli lauk di warung Bu Sum."

Tarno pun tergopoh-gopoh keluar rumah, untuk mencari lauk teman makan nasi malam ini. Rumah Bu Sum dekat saja, jalan kaki tiga menit sudah sampai. Kalau berjalan setengah lari seperti yang dilakukan Tarno barusan, paling semenit sudah sampai.

Untunglah bulan purnama masih utuh di langit malam. Semesta baru saja bekerja, menukar purnama di atas wajan dengan kekhawatiran di kepala Marni.

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun