Malam,
aku menghitung bulan yang jatuh ke pelukanmu
dan membandingkannya dengan air mata
yang jatuh dalam senyapku.
Kadang aku bisa larut dalam hening
membiarkan jiwa jadi kain yang diukir lilin dari canting
tapi kadang aku sesak dibekap amarah
isi kepala hendak meledak dan tumpah ke atas tanah.
Menyesal
mungkin bukan kata yang layak hari ini
tapi percayalah
ini telapak tangan berlumur darah
kerap menyulam mimpiku
bermalam-malam.
Seandainya aku tidak membutuhkannya
untuk menoreh cacah di atas tembok derita
mungkin sudah lama hidupnya
berakhir di dalam tempat sampah.
Malam,
bisakah engkau menghitung asa
yang jatuh dalam mimpi anak-anakku?
Karena aku tidak bisa melakukannya
dari sini
dari balik jeruji.Â
---Â
kota daeng, 27 Mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H