Rasanya hampir semua orang punya insting jadi mak comblang, apalagi bila statusnya sudah punya pasangan (entah pacar atau suami/istri) tapi kawan karibnya belum. Insting tersebut pun semakin kuat munculnya jika kawan-kawan yang masih single dan ingin dijodohkan itu punya persamaan dalam beberapa hal.
Ini saya alami beberapa tahun lalu. Target peristiwa jodoh-menjodohkan ini adalah teman kantor, gadis manis yang wajahnya dalam sekejab bisa berubah dari putih bersih menjadi merah kepiting rebus jika sedang tersipu malu.
Target pasangannya adalah teman kantor istri, yang juga saya kenal baik. Usia keduanya terpaut sekitar 7 atau 8 tahun. Dia memang sudah cukup mapan.Â
Kata istri, dia ingin segera mencari pendamping hidup. Kriterianya tidak muluk-muluk, yang penting pandai masak itu sudah cukup. Kriteria yang lain masih bisa dikondisikan.
Kebetulan teman kantor saya ini orangnya jago masak. Dia sendiri tidak ada masalah dengan cowok yang jauh lebih tua. Jadinya klop, bukan? Tapi memang orangnya sedikit pemalu. Sebenarnya mereka sama-sama pemalu, akibatnya beberapa kali rencana rendezvous mesti ditunda karena selalu saja ada alasan.
Akhirnya setelah beberapa kali tertunda, mereka pun berhasil ketemuan di salah satu restoran pizza. Hanya saja karena keduanya malu-malu kalau bertemu berdua saja, mereka pun mengajak bala bantuan. Yang cowok mengajak saya untuk menemani, yang cewek mengajak satu lagi teman kantor cewek lainnya untuk menemani.
Jadinya kami berempat duduk semeja. Mirip-mirip double date, tapi yang sepasang lagi jadi pelengkap penderita saja. Hanya walaupun jadi pelengkap, saya cukup senang karena bisa makan malam gratis saat itu.
Kami pun ngobrol ngalor ngidul. Sesekali saya membantu mengiring percakapan, agar mereka lebih saling mengenal walaupun tidak saling bertanya langsung. Seingat saya pembicaraan saat itu berjalan lancar dengan banyak canda dan tawa.
Bagaimana hasil pertemuan tersebut?
Keesokan harinya saya bertanya ke teman kantor. "Cowoknya dewasa sekali," kesannya kurang lebih seperti itu. Bagus sih, hanya sepertinya teman kantor saya tidak menduga bakal sedewasa itu.Â
Sebaliknya, si cowok melapor ke istri kalau teman kantor saya "terlalu cantik" untuk dia. Dia sepertinya berharap bakal mendapat cewek yang lebih "biasa-biasa saja" daripada yang ditemuinya semalam.
Jadi, tidak ada kelanjutan kisah setelah pertemuan itu. Saya sesekali masih mencoba jadi reminder ke teman kantor tapi responnya dingin-dingin saja.
Misteri Tuhan tidak ada yang tahu. Tidak sampai setahun setelah pertemuan itu, teman kantor istri saya meninggal dunia karena salah satu penyakit pernapasan. Bukan karena Covid-19 ya, saat itu virus corona belum setenar sekarang ini.
Saya dan istri pun berduka karena almarhum cukup kami kenal baik.
Setelah peristiwa tersebut saya biasa ngeri sendiri jika mengingat-ingat lagi peran menjadi mak comblang saat itu. Seandainya hubungan mereka benar-benar sampai ke pelaminan, maka bisa jadi saat ini teman kantor saya akan kehilangan pasangan hidup di usia perkawinan yang masih sangat muda. Dan itu bakal menambah jumlah orang yang berduka cita.
Belajar dari pengalaman tersebut, sebaiknya kita tetap bijaksana jika ingin menjodoh-jodohkan kawan-kawan karib kita karena peduli dengan kehidupan mereka.
Promosi seperlunya. Ceritakanlah kepada para calon pasangan hal-hal positif yang dimiliki keduanya secara tidak berlebihan. Jika ada sifat-sifat akan membuat keduanya lebih klop tidak masalah untuk diceritakan. Tapi jangan sampai over apalagi sampai berbohong. Menurut saya tidak ada istilah white lies dalam memulai sebuah hubungan. Kejujuran sangat penting untuk memulai hubungan karena nanti merekalah yang akan menjalani hubungan tersebut.
Tidak perlu ngotot, jika keduanya ternyata tidak klop. Jika setelah bertemu atau menjalin hubungan lebih lanjut, keduanya (atau salah satunya) undur diri karena sudah merasa tidak cocok, mak comblang tidak perlu merasa jadi orang paling berdosa sedunia sehingga berusaha sedapat mungkin menyatukan mereka kembali.Â
Jika mak comblang berhasil membuat hubungan keduanya naik tingkat menjadi lebih serius, itu sudah cukup. Jika ternyata kemudian hubungan keduanya turun tingkat kembali, tidak apa-apa, itu lumrah dalam sebuah relasi dan bukan menjadi beban mak comblang lagi.
Menjadi penyambung sebuah relasi adalah tugas yang mulia, tapi jangan sampai berlebihan dibuatnya. Apalagi perihal jodoh atau tidak jodoh itu juga adalah bagian dari misteri kehidupan. Pengalaman  saya di atas jadi salah satu buktinya. (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H