Ah, bodohnya saya, Pak. Ya iyalah, kalau sudah di Surga pasti bahagia yang dirasakan. Di sanalah tempat seluruh beban dilepaskan, segala bahagia diparipurnakan dan semua penderitaan dilenyapkan, bukan?
Jadi saya berharap di sana Bapak tidak perlu lagi overthinking lagi, seperti yang biasa terjadi saat Bapak masih bersama-sama dengan kami secara fisik. Biarlah segala urusan yang dulu Bapak tinggalkan mulai dari urusan keluarga besar, adat budaya sampai selisih pendapat warga desa menjadi beban pikiran kami-kami yang masih bergelut di dunia yang fana ini.
Tapi jujur, walaupun sudah nyaris setahun peristiwa kepergianmu, kami semua masih rindu. Bagaimana tidak? Bapak adalah figur teladan dalam banyak hal: kesederhanaan, integritas, kepemimpinan dan pelayanan.
Bapak tidak segan-segan mengambil alih urusan bersih-bersih rumah seperti menyapu dan mengepel jika diperlukan. Padahal di tengah masyarakat, Bapak adalah sosok yang ditokohkan. Segala silang pendapat dan sengkarut masalah-masalah di tingkat desa, mulai dari masalah adat sampai batas-batas tanah segera terselesaikan begitu Bapak sudah angkat bicara dan menyampaikan pandangan.
Jadi bukan putri bungsumu, saya dan cucumu saja yang merasa sangat kehilangan, Pak. Seluruh rumpun keluarga dan masyarakat ikut merasakan duka mendalam begitu mendengar kabar kepulanganmu ke Surga.
Oh ya, ngomong-ngomong soal keluarga besar, Bapak masih ingat tidak saat Bapak mengajak saya keliling desa? Saat itu saya masih muda belia, masih berstatus pacar si bungsu, yang bahkan belum berani bermimpi muluk-muluk akan ujung hubungan kami.
Saat itu saya berkunjung ke rumah, pada salah satu desa di dataran tinggi Toraja yang sejuk dan damai, untuk pertama kalinya. Saya mengikut saja saat Bapak mengajak jalan-jalan kelilling desa.Â
Awalnya saya berpikir ini tour biasa, seperti seorang warga lokal yang ingin memperkenalkan kekayaan alam desa kepada tamunya. Pikiran saya rupanya sedikit meleset, karena ternyata tujuan utama diajak keliling desa itu untuk diajak berkenalan dengan sejumlah keluarga baik yang masih terhitung keluarga dekat maupun jauh.
Tentu saja saya merasa kena prank saat itu, terutama setelah mampir di dua atau tiga rumah. Ingin rasanya segera berlari pulang. Tapi demi menjaga kesopanan, ditambah lagi saya juga orang baru jadi kurang paham rute gunung dan lembah yang dilewati, jadi ya hanya bisa pasrah mengikuti sampai tour yang memakan waktu seharian itu tuntas.
Tapi setelah dipikir-pikir secara mendalam lagi, saya jadi paham seperti itulah cara Bapak mendoakan hubungan saya dan si bungsu berlanjut ke jenjang yang lebih serius, dan ... doanya manjur, Pak. Hehe. Bapak memang selalu menunjukkan dengan perbuatan, bukan hanya dengan sekadar kata-kata.