"Kami tidak masuk wilayah teknis," demikian pernyataan Anies Baswedan dan Riza Patria Arta, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta terkait kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk rumah DP 0%. KPK menciduk Yoory C Pinontoan, Dirut PT. Pembangunan Sarana Jaya, salah satu BUMD milik DKI Jakarta yang bertanggung jawab pada pengadaan tanah untuk program rumah DP 0% tahun 2019 yang lalu. Diduga telah terjadi penggelembungan harga (mark up) harga tanah hingga berpotensi merugikan negara hingga 100 miliar Rupiah.
KPK juga menyeret beberapa orang lain untuk dijadikan tersangka, termasuk petinggi PT. Adonara Propetindo selaku penjual tanah.
Sebenarnya bisa dipahami mengapa Anies selaku pucuk pimpinan Pemda DKI Jakarta mengatakan proses pengadaan tanah ini masuk ke wilayah teknis.
Untuk membantu kita memahami maksud pernyataan tersebut, mari membuat analogi organisasi pemerintah daerah dengan organisasi sebuah perusahaan. Semakin tinggi struktur manajemen sebuah organisasi, semakin kompleks pula pengelolaan sumber daya manusia di dalamnya, baik pada jajaran struktural maupun fungsional.
Hal ini membuat orang-orang yang berada pada level manajemen puncak tidak punya banyak kesempatan lagi memberi perhatian secara langsung hal-hal detail dan teknis yang terjadi pada level manajemen menengah dan bawah.
Manajemen puncak biasanya lebih banyak berperan pada perencanaan strategis dan mengeluarkan kebijakan atau peraturan yang memandu seluruh operasional perusahaan. Sedangkan untuk eksekusi dan pengawasan didelegasikan ke pimpinan pada masing-masing level manajemen di bawahnya.
POAC
George R. Terry dalam bukunya Principles of Management telah memperkenalkan prinsip POAC yang mampu menjelaskan dengan baik bagaimana proses dasar manajemen berjalan.
POAC sendiri merupakan singkatan dari Planning, Organizing, Actuating dan Controlling.Â
Secara singkat POAC dapat dijelaskan demikian. Planning merupakan proses perencanaan strategis dan penetapan sasaran yang ingin dicapai sesuai tujuan organisasi. Organizing adalah proses menerjemahkan perencanaan strategis tersebut ke dalam struktur organisasi, pembagian peran (baca tugas dan tanggung jawab) setiap divisi, merumuskan deskripsi kerja, alokasi sumber daya dan lain-lain.
Actuating adalah implementasi perencanaan dan program kerja menjadi kerja nyata pada setiap level manajemen. Pada bagian inilah proses operasional berjalan. Diharapkan semua orang dalam organisasi bekerja sesuai dengan tanggung jawab dan deskripsi kerjanya.
Untuk memastikan semua orang dalam organisasi bekerja dengan baik sesuai aturan dan sesuai perencanaan, dibutuhkan controlling atau pengawasaan. Jika ada deviasi (penyimpangan) maka para pemimpin, mulai dari pemimpin pada level manajemen terkait, harus mencari solusi sesegera mungkin.Â
Manajemen puncak memiliki peran krusial pada proses planning dan organizing, tapi semakin panjang struktur manajemen, harus semakin terpadu pula proses controlling dijalankan.
Pentingnya Peran Pengawasan
Memang pada setiap level manajemen, ada pemimpin yang mengemban fungsi pengawasan ini. Hanya saja jika manajemen puncak tidak mampu memastikan fungsi pengawasan berjalan dengan baik di setiap level, akan muncul celah pelanggaran baik yang kecil maupun besar. Pelanggaran-pelanggaran inilah yang merupakan penyebab kerugian organisasi. Di atas kertas bisa saja semuanya ideal, tetapi di lapangan segala kemungkinan pelanggaran bisa terjadi.
Apalagi orang-orang se-tim akan cenderung saling menutupi menutupi kesalahan. Semakin jauh jaraknya dari level manajemen puncak, kemungkinan pelanggaran seperti ini juga semakin besar terjadi.
Oleh karena itu, pada umumnya setiap organisasi memiliki sistem untuk memastikan fungsi pengawasan berjalan dengan baik. Selain analisis laporan secara berkala dari bawah, manajemen puncak juga bisa "turun langsung".Â
Bentuk kegiatannya bisa berupa monitoring, kunjungan kerja, menurunkan tim SPI (Sistem Pengendalian Internal), menurunkan tim audit baik internal maupun eksternal dan berbagai macam kegiatan lainnya. Tujuannya: untuk memastikan aturan dijalankan dengan baik, memetakan masalah dan mencari solusi terbaik jika terjadi deviasi antara apa yang seharusnya terjadi dengan realita di lapangan.
Berkaca dari kasus tanah untuk rumah DP 0% ini kita melihat masalah manajemen juga ternyata bisa berimbas pada masalah yang lebih rumit dengan kerugian yang lebih besar. Sekalipun proses pengadaan tanah ini sudah masuk wilayah teknis dan diserahkan sepenuhnya kepada BUMD, Gubernur Anies semestinya memiliki sistem controlling yang baik meminimalkan terjadinya celah penyalahgunaan wewenang. Apalagi program rumah DP 0% ini merupakan salah satu program unggulannya.
Anies tidak sendiri. Banyak pemimpin di sekitar kita yang piawai membuat planning juga (mungkin) organizing, tetapi lemah dalam membangun dan menerapkan sistem controlling.
Untunglah organisasi pemerintah sedikit berbeda dari organisasi partikelir yang pengawasannya dilakukan di bawah arahan manajemen puncak. Pada organisasi pemerintah, lembaga pengawasan seperti KPK memiliki otoritas untuk mengakses setiap level organisasi secara langsung. Otoritas seperti ini penting untuk menelisik pelanggaran demi pelanggaran yang biasanya bersembunyi di balik tebalnya birokrasi. (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H