Vaksin Nusantara menjadi topik populer di tengah upaya pemerintah mengatasi pandemi Covid-19. Bukan saja karena saat ini kita memang sedang bergantung pada impor vaksin dari luar negara, tapi juga karena ada sosok Terawan Agus Putranto di balik proyek vaksin tersebut.
Pemberitaan tentang mantan menteri kesehatan ini memang selalu menarik untuk diikuti. Sebelum menjabat menkes, Terawan sudah menarik perhatian dengan metode DSA (Digital Substraction Angiography) untuk terapi brainwash pada pasien-pasiennya.Â
Metode ini menuai kritik dari sejumlah koleganya karena DSA pada dasarnya adalah prosedur untuk melakukan diagnosis, bukan prosedur untuk terapi.
Tapi sekalipun demikian, pasien-pasien dr. Terawan terus berdatangan. Bahkan beberapa tokoh seperti Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Mahfud MD, Hendropriyono dan Dahlan Iskan tercatat pernah menjadi pasien terapi brainwash dokter Terawan. Mereka pun memberikan testimoni positif pada hasil terapi.
Respon sebaliknya datang dari organisasi seprofesi. Pada tahun 2018 IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sampai menghentikan dr. Terawan dari keanggotaan IDI selama setahun, dengan alasan pelanggaran kode etik.
Tidak disangka-sangka, Â Presiden Jokowi memberi surprise karena pada tahun berikutnya memilih Terawan menjadi menkes menggantikan Nila Moeloek. Pro dan kontra kembali mencuat.
Apa yang dicari seorang Jokowi dari sosok Terawan?Â
Ini pertanyaan besarnya.
Sejumlah analisis pun bermunculan. Salah satunya (dan ini yang rasanya paling masuk akal) adalah Terawan dianggap bisa menjadi sosok yang tepat untuk menumpas perburuan rente di sektor kesehatan.Â
Bau-bau mafia di sektor ini sudah lama terendus dan semakin tajam baunya ketika Erick Thohir mengeluarkan statement tentang permainan mafia global maupun lokal dalam impor alat-alat kesehatan dan bahan baku obat.Â
Pengaruh para mafia membuat kita lebih senang menjadi pedagang daripada produsen. Padahal kita punya kemampuan dan sumber daya untuk itu.