Beberapa hari yang lalu Menteri Keuangan, Sri Mulyani, membuat revisi proyeksi perekonomian Indonesia. Forecast pertumbuhan ekonomi menjadi minus 1,7% sampai minus 0,6% untuk kuartal III 2020. Dengan demikian hampir dipastikan negara kita akan segera memasuki resesi. Pagebluk Covid-19 yang berimbas kepada perlambatan ekonomi dan resesi sebelumnya juga sudah melanda beberapa negara seperti Amerika Serikat, Perancis, Italia, Inggris, Singapura dan lain-lain.
Ancaman yang hadir di depan mata kita saat ini adalah semakin banyak perusahaan yang menghentikan usahanya, daya beli masyarakat menurun dan jika tidak ditangani dengan baik dapat membuat perekonomian semakin mengalami perlambatan.
Akhirnya ancaman kesehatan yang diikuti dengan resesi membuat pemerintah seperti makan buah simalakama. Walaupun memang masalah utama dan pemicu resesi adalah masalah kesehatan, menggerakkan perputaran roda ekonomi saat ini sama pentingnya karena masalah ekonomi juga dapat merembet kepada sektor kehidupan yang lain: sosial, politik, hankam dan lain-lain.
Sayangnya, di tengah upaya pemerintah membenahi masalah yang datang bertubi-tubi tersebut, isu tentang kebangkitan PKI kembali menyeruak.
Kali ini isu kebangkitan PKI datangnya dari mantan Panglima ABRI, Gatot Nurmantyo dan kawan-kawan yang tergabung dalam Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia atau KAMI. Bahkan KAMI mengirim surat terbuka kepada Presiden RI dan mengajukan beberapa permintaan terkait anak cucu komunis yang dianggap telah masuk sampai tingkat legislatif dan eksekutif.
Surat terbuka selengkapnya dapat dibaca pada tautan ini.
Melalui surat terbuka tersebut KAMI menyiratkan pandangannya bahwa ancaman yang paling mendesak untuk disikapi adalah PKI gaya baru dan kaki tangannya. Tuntutan yang disampaikan antara lain menarik RUU HIP dari prolegnas dan penayangan kembali film G30-S/PKI atau film serupa, agar anak-anak bangsa tidak melupakan sejarah.
Surat terbuka tersebut menarik untuk diulas dan dikaitkan dengan fenomena aktual saat ini
Pertama, saat ini ancaman terbesar dan terdekat yang sedang dihadapi bangsa kita adalah adalah ancaman ekonomi dan kesehatan. Jadi fokus pemerintah saat ini adalah memasang kuda-kuda dan mencari strategi-strategi terbaik untuk menghadapi masalah tersebut. Bagaimana memastikan bangsa kita bertahan melewati badai resesi? dan pada saat yang bersamaan bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk terus menekan tingkat penularan virus Covid-19?
Untuk pertanyaan kedua, terlihat pemerintah sudah benar-benar keteteran. Ironisnya, kurva harian penambahan kasus Covid-19 terus menanjak, ekonomi pun terhantam dengan telak.
Mestinya jika KAMI benar-benar ingin menjadi penyelamat Indonesia, fokus kritik dan pemikiran yang paling utama ya terhadap masalah ekonomi dan (tentu saja) kesehatan. Menuding kaki tangan PKI saat ini sudah masuk ke legislatif dan eksekutif tapi tidak mengajukan bukti-bukti yang valid, sama saja dengan menebar polemik yang tidak berfaedah. Orang-orang hanya akan gaduh dan menghabiskan energi dalam kegaduhan tersebut, tetapi tidak ada kontribusinya untuk memperbaiki keadaan bangsa dan negara.
Bukankah PKI sudah dinyatakan sebagai organisasi terlarang di atas bumi Indonesia, dan Pancasila adalah dasar negara yang final dan tak terbantahkan? Mestinya tidak perlu takut mengungkapkan secara gamblang jika mencium gelagat PKI akan bangkit dan mengembangkan ideologinya.
Kedua, menarik menyimak permintaan KAMI untuk menayangkan kembali film G30-S/PKI (atau film serupa) agar anak didik (generasi muda) tidak melupakan "noda hitam" sejarah Indonesia.
Saya termasuk salah satu penonton setia film ini. Saya dulu sudah hafal, setiap tanggal 30 September tiba, malam harinya TVRI akan memutar film G30-S/PKI. Jadi saya masih cukup ingat bagian-bagian film garapan Arifin C. Noer ini.
Zaman sudah jauh berubah. Untuk generasi sekarang yang lebih mengakrabi Youtube, Netflix, IG TV dan sejenisnya, percaya saja, film G30-S/PKI ini tidak akan menarik atensi mereka.
Kalaupun para sineas akan membuat remake filmnya, tentu selain sinematografi yang lebih kekinian, sejarah yang akan diangkat juga harus lebih komprehensif, jangan hanya menonjolkan satu versi dan satu sosok seperti pada film G30-S/PKI tersebut. Sutradara Arifin C. Noer pun pernah mengungkapkan kekecewaan terhadap hasil akhir film G30-S/PKI yang berbeda dari keinginannya. Tapi saat itu dia tidak bisa berbuat banyak terhadap racikan sutradara bayangan dalam film tersebut.
Berbicara sejarah, rilis dokumen yang disimpan CIA selama puluhan tahun mengungkapkan mereka punya andil dalam lakon memberangus PKI di Indonesia. Mereka juga punya kepentingan, termasuk upaya menyingkirkan Soekarno yang saat itu dianggap tokoh berbahaya bagi hegemoni Amerika Serikat. Mozaik-mozaik sejarah ini tidak boleh dinafikan begitu saja.
Walaupun nanti kemasan film-nya adalah fiksi, kajian akademisnya tidak boleh terpotong-potong. Masyararakat (termasuk generasi muda) punya hak untuk mengetahui versi lengkap dari sejarah tersebut. Ini akan makan waktu panjang dan saya khawatir hasilnya tidak akan sesuai sepenuhnya dengan keinginan para pentolan KAMI.
Isu kebangkitan PKI bukan isu baru. Jika keadaan kita baik-baik saja, mungkin banyak masyarakat yang mau memberi perhatian sejenak pada isu tahunan tersebut. Tapi saat ini rakyat jauh lebih peduli pada hal-hal yang menyangkut harkat hidupnya. Kartu pra-kerja, mencari pekerjaan baru atau membuka usaha karena terkena PHK dari perusahaan, tunjangan BLT yang belum masuk ke rekening, omset usaha menurun, istri atau suami mesti karantina dan lain-lain.
Daripada mengembuskan isu-isu yang bisa bikin masyarakat "hilang rasa", para cendekiawan KAMI mestinya menggelar aksi-aksi yang lebih aktual dan bermanfaat. Misalnya ikut membuka kelas wirausaha digital untuk membantu masyarakat yang terkena PHK agar tetap berpenghasilan, promosi UMKM yang masih bertahan di tengah badai ekonomi untuk membantu memutar perekenomian atau menggelar seminar mengenai kiat-kiat bertahan dan mengembangkan usaha di tengah resesi. Saya pikir cara-cara seperti ini akan jauh lebih bermanfaat dan menarik simpati masyarakat. (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H