Video Ahok yang bicara blak-blakan mengenai sejumlah kebobrokan dalam tata kelola dan kebijakan-kebijakan PT. Pertamina (Persero) membuat kita terkejut. Mungkin ada juga yang pura-pura terkejut. Bukan Ahok namanya kalau tidak gemar bicara pedas, tajam dan menusuk, bukan?
Saya pikir usai terpeleset surat Al-Maidah, karakternya yang satu ini akan melunak atau paling tidak kalau masih mau bicara lantang, pemilihan kata-katanya lebih diplomatis seperti kebanyakan politisi. Pasalnya, di luar jalan politik praktis, jalan untuk berkontribusi mengelola kemaslahatan rakyat masih terbuka setelah ditunjuk menjadi komisaris utama Pertamina. Sayang kan kalau mesti terpeleset lagi.
Tapi rupanya tidak. Peristiwa buka-bukaan aib Pertamina belum lama ini semakin menyadarkan kita bahwa bicara pedas itu sudah jadi jadi semacam trademark seorang Ahok. Mau berada di posisi legislatif, eksekutif bahkan komisaris perusahaan plat merah, dia tetap ribut jika melihat ada yang tidak beres di sekitarnya.
Karakter ini baik atau buruk, pantas atau tidak, menjadi sangat relatif dengan argumennya masing-masing. Jadi saya ingin mengulas sisi lain dari karakter Ahok yang satu ini.
Panas di Telinga Tapi Dirindukan
Pikiran saya jadi jauh terbang ke masa-masa puluhan tahun silam, di rumah masa kecil yang hangat dan asri. Ibu sebagai "manajer" dalam rumah pun kerap ngomong pedas dan bikin panas telinga terutama jika melihat kami anak-anaknya "tidak berperilaku" sebagaimana seharusnya. Contohnya: kamar dibiarkan berantakan, main sampai malam, bangun kesiangan, tidak kerja PR atau tugas rumah yang sudah ditentukan, kena masalah di sekolah dan lain-lain.
Dijamin ibu akan marah dan ngomong panjang lebar. Marah-marahnya bisa dijadikan dua atau tiga artikel kalau saat itu sudah ada Kompasiana.
Bahkan tidak cuma ngomong di depan "para pelaku kejahatan" alias kami anak-anaknya, ulah kami yang kebablasan itu kerap jadi bahan obrolan bersama tetangga. Kalau saat itu sudah ada media sosial, mungkin bisa jadi trending topic di lingkungan RT atau RW setempat.
Tapi apa lantas itu menjadikan kami membenci ibu? Tidak. Justru celotehannya itu yang selalu dirindukan. Malah untuk saya pada saat itu, intensitas celoteh ibu bisa jadi semacam radar. Kalau ada kesalahan dan ibu terlihat kalem saja, berarti ada yang tidak beres. Kalau bukan ibu sedang sakit, berarti lagi banyak pikiran.
Celotehan ala ibu rumah tangga ini tentu saja tidak cukup untuk membuat kami diseret ke pengadilan atau kena sanksi administrasi. Tapi bagi kami, cukup membekas dalam ingatan dan membentuk perilaku kami bahkan sampai hari ini, puluhan tahun kemudian.
Berbeda dengan celotehan ala Ahok yang bisa berimbas lebih serius. Belum lama berkicau, Ahok sudah dipanggil oleh Menteri BUMN untuk klarifikasi. Selain, itu para tokoh pun buka suara dengan aneka reaksi. Ada yang pro dan kontra, seperti biasa.
Mereka yang kepentingannya terganggu dengan celotehan Ahok itu, pasti bereaksi keras. Sedangkan bagi rakyat jelata seperti saya yang sudah terbiasa (bahkan kadang jadi apatis) dengan tingkah polah para politisi, celotehan Ahok walau bikin panas telinga, tetap selalu dirindukan. Rakyat yang tidak senang dengan kejahatan white collar, rakyat yang selalu merasa jadi permainan para petinggi, bahkan rakyat yang senang dengan sensasi, selalu merindukan celotehan khas Ahok.
Justru kalau Ahok berada di tempat yang perlu banyak pembenahan dan terlihat tenang-tenang saja, bisa jadi ada yang tidak beres. (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H