Pernikahan itu 1% Cinta dan 99% Komitmen. Kalimat yang jadi judul tulisan ini sangat membekas dalam ingatan saya sampai hari ini. Pertama kali mendengarnya pada salah satu sesi rekoleksi beberapa tahun yang lalu, disampaikan oleh romo pembimbing saat itu.
Mungkin sebagian besar pembaca akan spontan merespon tidak setuju dengan pernyataan yang menjadi judul tulisan ini. Jadi saya akan mencoba mengulas kembali latar belakang munculnya pernyataan tersebut sejauh ingatan saya. Sudah cukup lama, soalnya.Â
Tema utama rekoleksi tersebut sebenarnya bukan tentang pernikahan, tetapi tentang pengembangan diri. Tetapi pada salah satu sesi ada topik yang membahas tentang relasi interpersonal, sehingga pembahasan pun sampai pada kehidupan pernikahan.
Tentu saja idealnya sebuah pernikahan diawali dengan cinta. Cinta adalah rangkaian emosi yang membuat dua insan yang berbeda satu sama lain memutuskan untuk menjalani mahligai rumah tangga. Pilihan hidup ini tidak mudah, karena begitu terikat dengan pernikahan mereka harus siap dengan babak hidup baru. Berbagai bentuk adaptasi terhadap kehidupan baru itu pun harus dilakukan, termasuk mengorbankan beberapa hal yang menjadi bagian dari masa lalu, misalnya: gaya hidup, kebiasaan, sifat dan lain-lain.
Tapi jika diibaratkan sebagai ramuan, formula cinta saja rupanya tidak cukup untuk memastikan sebuah rumah tangga akan langgeng 100%. Cinta seperti halnya rangkaian emosi yang lain juga dapat berubah seiring waktu dan masalah-masalah lainnya, misalnya: Â sifat yang berubah, jatuh cinta pada orang ketiga, faktor lingkungan (keluarga, keadaan ekonomi dan lain-lain). Tanpa formula yang lain, cinta dapat memudar seiring datangnya masalah dan ujung-ujungnya pernikahan sampai kepada perceraian.
Formula lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah komitmen. Oleh karena itu pada saat sepasang mempelai mengucapkan akad atau perjanjian nikah, sebenarnya bukan hanya pernyataan cinta yang disampaikan tetapi juga komitmen untuk menjaga ikatan pernikahan tersebut. Perjanjian nikah ini bukan saja diucapkan di depan manusia tetapi juga di depan Tuhan sehingga mengikat secara lahir maupun batin.
Jadi selain rasa cinta, mempertahankan komitmen juga penting untuk menjaga keutuhan rumah tangga. Komitmen membuat pasutri berusaha untuk mencari jalan keluar terbaik dari masalah-masalah mereka.
Kesimpulannya, rumah tangga tanpa cinta memang tak bisa bertahan. Tapi cinta saja tidak cukup, harus ada komitmen untuk melengkapi cinta tersebut. Cinta bisa berubah, tetapi komitmen bersifat mengikat. Oleh karena itu, dengan memiliki komitmen, cinta yang luntur bisa ditumbuhkan kembali.
Inilah maksud judul artikel di atas. Dalam sebuah pernikahan yang tumbuh dan bertahan, cinta harus selalu didukung dengan komitmen, begitu pula sebaliknya. Bahkan pada suatu masa nanti, cinta akan luruh dalam komitmen. Jadi bukan lagi masalah rasio antara cinta dan komitmen. Mau 50:50, 30:70, bahkan 1:99, selagi pernikahan masih memiliki kedua formula ini, masih ada harapan untuk menjaga keutuhan rumah tangga tersebut. (PG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H