Dulu kita dijajah kompeni, sekarang dijajah orang berdasi.
Kalimat di atas saya dengar sudah lama sekali, dari salah satu sitkom yang cukup populer saat itu, zaman saya masih duduk di bangku SD atau SMP. Hanya maaf, karena sudah bertahun-tahun lamanya saya sudah lupa judul acaranya.
Latar belakang kalimat tersebut muncul adalah kegalauan rakyat yang rumahnya akan digusur untuk pembangunan gedung bertingkat di salah satu sudut Jakarta.
Mengapa kata-kata ini terus terngiang di telinga saya? Karena kata-kata itu selalu aktual sampai kapan pun, bahkan sampai hari ini.
Sebentar lagi kita akan merayakan ulang tahun proklamasi yang ke-75. Pada momentum seperti ini kita dapat selalu mengulang-ulang kembali pertanyaan berikut sampai bosan, bahkan bila perlu sampai mati rasa:
Apakah kita sudah benar-benar merdeka?
Lalu kita mulai berefleksi kembali untuk mencari jawabannya. Jika penjajahan yang dimaksud adalah penjajahan fisik yang terjadi sampai pada 75 tahun yang lalu, oleh Belanda dan Jepang, ya kita sudah merdeka. Proklamasi adalah garis batas dari situasi dan kondisi tersebut.
Tapi jika kita membuka sudut pandang kita lebih lebar untuk melihat wajah lain penjajahan dan ancaman terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, kita pasti akan menjawab mungkin ya, mungkin tidak. Kata "ya" dan "tidak" pun masih ditemani kata "mungkin".
Saat ini ancaman-ancaman yang dapat melemahkan bangsa dan negara Indonesia bermacam-macam bentuknya, begitu kompleks dan multidimensi. Ada ancaman terhadap ideologi, ancaman budaya, ancaman akibat perubahan iklim, ancaman perang ekonomi, perang dunia maya, terorisme dan lain-lain. Ini ancaman-ancaman yang datang dari luar negara kita.
Tidak kalah berbahayanya adalah ancaman yang datang dari dalam tapi tetap berpotensi besar mengganggu stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya: gerakan separatis, berbagai macam kejahatan: cybercrime, perdagangan manusia, narkoba, korupsi, penindasan dan lain-lain.