Di ruang keluarga, nenek tersenyum sambil merajut sebuah rompi berwarna merah hati. Setia menemaninya cangkir teh yang masih mengepul di atas meja, juga samar-samar suara biduan dari dalam layar televisi.
Dia terlihat sangat menikmati senja itu, walaupun dia lupa apa yang membuatnya tersenyum dan untuk siapa persisnya rompi rajut itu dibuatnya.
Tiga puluh tahun lalu, dia meratapi kepergian suaminya ke surga. Saat itu garis-garis usia di wajahnya masih samar, begitu pula dengan garis-garis usia di wajah sang suami. Bukan. Dia bersedih bukan karena tidak bisa menerima kepergian sang suami yang begitu cepat.
Dia justru ikhlas karena dengan mata kepala sendiri dia sudah melihat bagaimana virus penyebab pendemi itu menggerogoti paru-paru dan semangat hidup suaminya. Dia ikhlas karena tidak ingin melihat suaminya hidup seperti mati lebih lama lagi.
Yang membuatnya bersedih adalah dia tidak sempat menunaikan permintaan terakhir sang suami. Beberapa saat sebelum sakit, dia meminta sang istri membuatkan sebuah rompi rajut. Bukan permintaan sulit sebenarnya, karena sang istri cukup mahir untuk urusan keterampilan tangan itu.
Tapi sampai akhir hayatnya tiba, permintaan tersebut belum terpenuhi. Dan permintaan itu baru diingat kembali oleh sang istri beberapa hari setelah jenazah suaminya dikebumikan.
Akhirnya setelah peristiwa duka itu, dia mulai merajut sebuah rompi untuk membantunya memulihkan luka dalam hati. Entah dia berhasil atau tidak, tapi berbulan-bulan setelah peristiwa duka itu dia sudah bisa kembali tersenyum. Bahkan senyum itu pula yang membuatnya kuat merajut belasan bahkan puluhan rompi sampai hari ini.
"Hah, warna merah hati? Saya suka, Nek!"
Seorang bocah lelaki berusia delapan tahun masuk dan mendekap kaki sang nenek.
"Kamu suka?" Nenek menghentikan irama tangannya sejenak untuk bertanya kepada bocah itu.