Seorang kakek yang pada masa mudanya terkenal sebagai penulis lagu sedang menunggu rembulan, malam ini setengah purnama, muncul dari balik awan-awan berwarna perak. Sudah beberapa hari ini mereka berbincang-bincang dengan hangat. Rembulan dari langit malam dan sang kakek dari balkon lantai dua rumah yang terbuka tanpa atap.
Dia sudah menyiapkan kopi, kacang rebus dan beberapa potong biskuit gandum yang akan jadi teman ngobrol mereka. Tubuh tuanya dibalut sweater rajutan untuk membantunya menghalau gigitan angin malam.
Beberapa hari lalu mereka berbincang tentang sejumlah lokasi wisata di seluruh penjuru dunia yang saat ini sedang sepi pengunjung. Rembulan berkata pandemi ini adalah cara ibu bumi menjaga keseimbangannya. Tempat-tempat eksotik itu seperti seorang introver. Mereka sesekali butuh keheningan untuk memulihkan kembali energi yang terkuras saat menerima ratusan bahkan ribuan tamu.
Kemarin, mereka berbincang tentang ekonomi. Rembulan bilang resesi hanyalah konsekuensi logis dari spekulasi para petinggi negeri. Saat resesi terjadi, mereka hanya perlu mengambil spekulasi lainnya. Bukankah demikian hukum universal kehidupan ini? Jika kita tidak bisa menciptakan pilihan, kita harus melempar dadu ke atas permainan lalu menunggu mata dadu menunjukkan pilihan yang kita ambil.
Ah, seandainya hidup sesederhana itu? batin sang kakek.
"Memang hidup sesederhana itu," sahut rembulan saat muncul dari balik awan.
Sang kakek terkejut, "Kamu bisa membaca pikiran?" tanyanya.
"Tak perlu jadi pembaca pikiran, Kawan. Sangat jelas dari kerut-kerut di keningmu," rembulan tertawa kecil. "Bagaimana kalau hari ini kita ngobrol tentang seni?"
"Ah, itu topik favoritku."
Sepanjang malam mereka pun bercerita tentang seni. Seperti biasa, rembulan lebih sering mendominasi pembicaraan. Sang kakek hanya menimpali sesekali. Rembulan bercerita tentang Picasso, Michael Angelo bahkan Chairil Anwar dan banyak seniman lainnya. Ternyata sejumlah orang dari mereka juga gemar bercakap-cakap dengan rembulan.