Artikel Kompasianer Pak Suherman Agustinus tentang kawan kerjanya yang belum bisa melangsungkana pernikahan gara-gara Covid-19 melanda, membuat saya ikut prihatin. Pasalnya, sebagian besar persiapan acara sudah dijalani. Tanggal pernikahan sudah ada dari jauh hari, anggaran sudah disiapkan, gedung sudah dicari, bahkan Pastur yang akan memimpin misa pernikahan sudah dihubungi. Eh, acaranya terpaksa ditunda dulu karena pandemi. Untung saja undangan acaranya belum naik cetak.
Artikel selengkapnya dapat dilihat di sini.
Saya yakin masalah yang menimpa rekan kerja pak Suherman juga menimpa banyak pasangan lainnya. Tidak ada yang memperkirakan Covid-19 bakalan berbuntut panjang seperti ini. Merebaknya virus corona di mana-mana seperti kedipan mata saja, sementara persiapan acara pernikahan butuh waktu panjang. Jadi ya mau tidak mau, para calon mempelai mesti menyikapi keadaan ini dengan panjang sabar.
Jika pasangan yang sudah siap mesti menunda acara pernikahannya, masalah serupa menimpa mereka yang masih pada tahap mencari calon pendamping hidup.
New normal life memaksa kita semua untuk melakoni kebiasaan-kebiasaan baru yang dapat meredam potensi penularan virus Corona: sering-sering mencuci tangan, menjaga jarak satu sama lain, menggunakan masker jika harus berada di luar rumah dan sejumlah kebiasaan lainnya.
Sebagian gaya hidup juga berubah. Bekerja dari rumah, membiasakan diri dengan virtual meeting, tidak bisa ke tempat ibadah seperti biasa, tidak bisa nongkrong bareng teman-teman seperti dulu lagi, tidak bisa ke bioskop, karaoke, dugem dan tempat hangout lain karena masih banyak yang tutup, tidak bebas ke mana-mana dan sebagainya.
Kesimpulannya, masa new normal membuat kita sedapat mungkin mengurangi kegiatan yang membuka ruang interaksi sosial (secara fisik) dengan orang lain. Kalau pun harus berinteraksi, kita harus patuh pada sejumlah protokol kesehatan.
Padahal, selama ini peluang seseorang menemukan calon kekasihnya adalah lewat sejumlah interaksi dengan orang lain.
Saat kita berdoa meminta jodoh pada Yang Maha Kuasa, jodoh tidak tiba-tiba dijatuhkan dari langit (Iyalah. Kalau pun benar jatuh dari langit, sampai di bumi sudah jadi jenazah juga ^-^ ), melainkan harus dijajaki di luar sana, di luar kamar doa kita.
Okey, bisa saja jodoh berasal dari lingkungan terdekat: tetangga, rekan kerja atau teman sekomunitas yang memungkinkan terjadinya cinlok alias cinta lokasi. Tidak jadi masalah kalau memang jodoh berasal dari lingkungan terdekat, karena biasanya sudah saling mengenal sebelumnya.
Tapi bagaimana jika jodohnya berasal dari luar lingkungan terdekat?
Mestinya mereka bertemu saat berinteraksi di luar sana. Bertemu di angkutan umum misalnya, atau pada saat bertransaksi di gerai, atau saat tiba-tiba bertabrakan di perpustakaan, atau bertemu saat kuliah umum dan kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Apakah cinta pada pandangan pertama masih efektif jika wajah demi wajah yang bertemu dibalut masker dan mereka tidak bebas bertutur sapa seperti sebelum masa new normal? Jika pada pandangan pertama tidak efektif, bagaimana pada pandangan kedua?
Tapi, bagaimana mereka tahu mereka sedang melakoni pandangan kedua, kalau mereka tidak tahu pernah melakoni pandangan pertama?
Demikian pertanyaan-pertanyaan yang menjadi bahan renungan untuk kita sekalian.
Ini bukan bermaksud menakut-nakuti para jomlowan/wati yang sedang berjuang mencari cinta sejatinya di luar sana. Justru tujuan akhirnya adalah memberi dorongan untuk berjuang lebih keras dan cerdas.
Bukankah Tuhan tidak memberikan cobaan yang tidak bisa diatasi umat-Nya?
Bisa mulai dengan menata kembali penampilan dan pembawaan kita. Saat ini orang akan sulit mengenali wajah secara langsung, karena tertutup masker. Jadi yang bisa diperkuat adalah body language dan tutur kata. Tinggalkanlah kesan yang menarik pada setiap orang yang dijumpai di luar sana.
Jika jalur luring saat ini kurang menguntungkan, cobalah mengoptimalkan jalur daring. Perbanyak interaksi pada media sosial. Bertutur sapalah secara natural bukan sekadar basa-basi, membangun engagement lebih bukan sekadar stalking atau titip jempol. Pindahkan interaksi yang "hilang" di dunia nyata ke dunia maya agar banyak teman media sosial yang tertarik mengenal kita lebih jauh. Siapa tahu salah satu dari mereka adalah calon pendamping hidup di masa depan.
Jangan lupa ikut membantu dalam doa agar Covid-19 segera berlalu dari negara kita bahkan dari planet ini. Jika saat itu tiba, kita sudah siap membangun relasi lebih intens dengan calon kekasih, syukur-syukur bisa berkelanjutan menjadi pendamping hidup. (PG)
--- Â
Baca juga:Â
Menyimak Imbas New Normal pada Gaya Hidup Digital
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H