Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Senja di Ruang Isolasi

8 April 2020   15:54 Diperbarui: 8 April 2020   15:50 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari senja berhasil menyamarkan langit biru menjadi panggung berlatar tembaga. Sementara itu di depan panggung, burung-burung camar berbaris rapi pulang ke rumahnya.

Senja selalu mengingatkanku pada Listi yang manis, kekasih hatiku. Dia gemar sekali membuat puisi tentang senja dan segala romantismenya. Di mataku, senja selalu sama. Tapi di matanya, senja punya ribuan wajah. Riang gembira, terluka sedih, kecewa berat, tersipu malu, polos, dongkol, menahan amarah, tergelak lucu dan banyak lagi wajah lainnya. Semua gambar tentang wajah senja itu diapiknya dengan rapi dalam puisi-puisinya.
Ah, aku ingat salah satu bait puisinya tentang senja yang malu-malu. Aku sampai hafal karena itu salah satu puisi favoritku.

"Bagaimana warna wajahku saat ini
setelah kamu katakan cinta dari pesisir utara?
Pasti merah merona.
Mengapa ya aku bisa tersipu-sipu seperti ini
mungkin
karena aku juga cinta kepadamu"
kata senja pada samudera.

Puisi itu diunggah di akun instagramnya sehari setelah aku menyatakan cinta padanya. Sejak hari itu kami resmi jadi sepasang kekasih.
Sudah tujuh hari aku tidak melihat langsung wajahnya. Yang menjadi pelipur lara hanyalah pesan demi pesan dalam gawai. Covid-19 membuatnya harus menjalani perawatan sebagai PDP di salah satu rumah sakit swasta di kota kami. Pada awal Maret yang lalu dia memang mengikuti salah satu training kantor yang diadakan di Jakarta. Saat itu penderita positif corona masih bisa dihitung dengan jari-jari tangan.

Mangga, rasanya aku mulai baikan. Sudah dari pagi tadi demamku juga turun.

Pesan darinya masuk ke gawaiku. Namaku Angga, tapi dia memang punya panggilan spesial untukku. Aku tersenyum senang karena keadaannya sudah membaik. Ah, aku tidak sabar lagi untuk segera memeluknya, menciumnya dan menghabiskan senja demi senja dengannya.

Syukurlah kalu gitu. Cepat baik ya senjaku. Dariku, samudera di pesisir utara, balasku segera.

Hahaha... masih ingat aja puisi senja dan samudera itu, Ga. Eh, kabar kamu gimana?

Hmm... masih lemas rasanya, juga masih demam. Tapi batuk sudah kurang. Tidak usah khawatir, Sayang. Setiap melihat senja dari jendela dan baca wa kamu aku semakin sembuh kok.

Tepat setelah pesan itu terkirim, abang aku membawa masuk makan malam ke dalam kamar. Dia lalu menggeser tirai jendela sehingga senja yang nyaris berganti malam di luar sana tak nampak lagi.

Aku juga sedang berada di "ruang isolasi". Tapi beda dengan Listi, aku mengisolasi diri secara mandiri di rumah. Dua hari setelah Listi masuk rumah sakit, aku juga mulai menunjukkan gejala sakit yang sama, tapi dokter yang memeriksa menyuruh aku karantina mandiri saja.

Hebaaat! Cepat sembuh ya samuderaku.

Balasan pesan darinya masuk ke gawaiku. Ya, sebentar lagi kita berdua akan sembuh. Mudah-mudahan Indonesia juga akan  segera sembuh.

---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun