Jumlah orang yang positif mengidap virus corona terus bertambah. Bahkan dua hari lalu diberitakan kalau Menhub, Budi Karya Sumadi juga sudah positif terinfeksi virus Corona. Nah, jika pada level ring 1 istana saja virus Corona bisa "unjuk gigi", bagamana dengan penyebaran di tingkat masyarakat jelata?
Dari sejumlah opsi penanganan penyebaran virus corona beberapa waktu ini kita dengar istilah lockdown.
Secara harfiah lockdown berarti mengisolasi tahanan pada sel lebih lama daripada waktu yang semestinya. Tujuannya untuk pengamanan tambahan karena yang bersangkutan telah melakukan percobaan melarikan diri, misalnya, atau sedang ada huru-hara, dan lain-lain.
Dikaitkan dengan penanganan wabah penyakit, istilah lockdown berarti mengisolasi suatu teritori atau wilayah tertentu dengan membatasi akses keluar dan masuk untuk menekan peluang penyakit menular ke tempat lain.
Selain membatasi akses keluar masuk, sejumlah aktivitas publik juga dibekukan untuk menekan interaksi antar manusia yang dapat meningkatkan peluang penyebaran penyakit.
Wuhan sebagai pusat episentrum Corona pernah di-lockdown, menyusul beberapa kota lain di Propinsi Hubei seperti Huanggang dan Ezhou kemudian pada akhirnya seluruh propinsi Hubei di-lockdown seiring meningkatnya intenstas penyebaran virus Corona.
Manila juga menerapkan lockdown selama dua pekan. Italia bahkan menerapkan lockdown secara nasional. Notabene, Italia merupakan negara di Eropa yang terdampak pandemi paling parah.
Dengan lockdown ini, seluruh akses transportasi dibekukan. Sekolah, perkantoran dan aktivitas publik dihentikan. Akibatnya, aktivitas ekonomi akan slowdown. Dan jika ini yang terjadi, imbasnya lebih besar lagi ke seluruh sendi-sendi kehidupan.
Ini yang menjadi salah satu penyebab Jokowi tidak segera mengekseskusi opsi lockdown untuk menekan penyebaran virus Corona. Tapi di luar isu ekonomi, ada juga faktor sosial budaya yang membuat opsi lockdown akan sulit diterapkan di tanah air. Ini antara lain penyebabnya:
Reaksi Berlebihan. Ini salah satu karakter khas masyarakat kita, baik masyarakat di dunia nyata maupun warganet. Masyarakat seringkali menyikapi sebuah isu secara berlebihan. Begitu sebuah isu muncul ke permukaan, dibahas habis-habisan, di-blow up di mana-mana, setelah itu  senyap atau sepi lagi.