"Jangan takut, Nak. Ayo dimakan, kamu pasti lapar sekali."
Aku memang kelaparan, tapi aku masih ragu mengambil pemberiannya.
"Kakek hanya mau bilang," lanjut kakek itu lagi, "Sebenarnya aku datang ke rumahmu itu untuk menjaga supaya banjir besar nanti tidak sampai ke rumah kalian. Tapi abah sama emak kamu itu loh, keterlaluan. Masak aku dimasukkan ke kuali."
Itu kata-kata terakhir si kakek dalam mimpi yang masih bisa kuingat dengan baik.
Keesokan paginya, air masih tergenang semata kaki. Aku pun menceritakan mimpi semalam pada abah dan emak. Mereka nampak kaget, tapi mungkin karena tidak mau membuatku berpikir macam-macam, abah langsung menimpali, "Ah, itu hanya bunga mimpi kamu saja, Nak. Kamu terlalu banyak nonton film silat. Nah, mumpung masih libur, ini bawa HP abah ke rumah Pak RW minta tolong di-charge, ayo."
Rumah Pak RW dua rumah jaraknya dari rumah kami, juga satu-satunya rumah yang menggunakan genset. Selama pemadaman listrik ini, memang banyak tetangga yang menumpang charger HP di rumah pak RW.
Hari ini sejak jam sebelas siang hujan terus turun dengan deras. Akibatnya semakin sore banjir semakin tinggi. Akhirnya menjelang maghrib tinggi air sudah sampai ke perut abah. Aku malah sejak sore tadi sudah disuruh duduk di atas meja makan yang juga mulai tenggelam.
Pak RW berkeliling ke rumah-rumah untuk meminta warga mengungsi dulu. Perahu-perahu karet pun bermunculan.
Wajah abah dan emak terlihat lelah saat menuntunku di atas perahu karet dan berjalan pelan-pelan melewati banjir. Warga yang lain juga berbondong-bondong menuju ke tempat pengungsian.
Hujan gerimis masih turun dari langit. Samar-samar aku mencium aroma singkong rebus yang sangat menggoda entah darimana asal aromanya.
Siapa juga yang masih sempat-sempat memasak singkong di saat-saat seperti ini? Â Â