Pada sebuah ujung senja yang damai, bintang berpapasan dengan matahari yang hendak pamit untuk menabur cahayanya di belahan bumi yang lain. Bintang yang masih muda belia itu pun bertanya,
"Tuan, jika suatu saat anda menjadi tua dan lelah, siapa lagi yang akan menyinari bumi?"
Matahari tersenyum dan berhenti sejenak. Dia berpikir, mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu.
"Bintang muda yang budiman. Sebelum menjawab pertanyaan itu, aku akan bertanya kepadamu terlebih dahulu. Mengapa kamu dan kawan-kawanmu masih betah menghiasi malam? Dan sampai kapan?"
Bintang sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Tapi dia langsung menjawab dengan yakin.
"Sudah kodrat kami untuk menghiasi langit malam, bukan? Tapi di samping itu, saya sendiri senang dengan tugas ini. Manusia adalah makhluk yang sangat rapuh. Mereka membutuhkan bintang-bintang, rembulan, anda, Tuan Matahari, untuk memberi mereka kekuatan di saat gelap. Tetapi sampai kapan, entahlah. Di alam semesta ini, tidak ada yang benar-benar abadi."
Matahari mengangguk-angguk.
"Benar katamu. Tidak ada yang abadi, termasuk juga diriku, suatu saat bisa pudar dan menghilang. Jadi sebenarnya yang paling penting adalah manusia-manusia dan kemanusiaan di bawah sana. Selagi mereka memiliki terang yang kuat dalam hatinya, mereka akan selalu punya cara untuk menghadirkan matahari-matahari yang lain di atas dunia mereka.Tapi sebaliknya, jika hati mereka gelap gulita, 10, 100 atau 1.000 matahari pun tidak akan cukup untuk menerangi dunia mereka."
"Jadi apakah manusia harus dipisahkan dari gelap?" tanya bintang lagi.
Matahari terdiam sejenak.