"Itu canting kemarau," sahutku. "Aku memberi hadiah ini agar lukisanmu lebih semarak. Kamu harus kembali melukis wajah lain pada batik-batik ini selain wajah hujan yang selalu suram dan sendu."
Di luar dugaanku, kamu menghempaskan canting itu, lalu berdiri dan meninggalkan beranda sanggar yang penuh hamparan kain sembari menangis tersedu-sedu.
Aku memandang canting kemarau yang tergolek pasrah sambil membatin, apakah lelaki itu juga cinta terakhirmu?Â
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H