Rasanya kepalaku sejuk sekali, seperti dielus tangan embun pagi. Saat membuka mata, berkas cahaya matahari pagi yang masuk lewat ventilasi kamar menyambutku. Ah, rasa sejuk ini ternyata berasal dari kain kompres di atas dahiku. Saat menyingkirkan kain itu, tanganku menyenggol kepala Kinmi yang terbaring di sisi tempat tidur.
Kinmi, gadis manis berambut lurus sebahu, blasteran Jepang Manado itu pun terbangun. Kulit di bawah matanya sedikit menghitam, mungkin karena kurang tidur semalam. Tapi dia tetap cantik di mataku, apalagi dengan senyum semanis ini.
"Kamu sudah baikan, Aldo?"
Dia pun bangkit dari kursinya dan meraba keningku.
"Rasanya lumayan," sahutku.
"Iya, demam kamu sudah turun," sambungnya.
"Kamu tidak ikut kegiatan hiking pagi ini?"
"Aku sudah minta izin ke Kak Dimas buat jagain kamu."
Gara-gara kesibukan seminggu terakhir mengurusi kegiatan penyambutan dan orientasi mahasiswa baru, aku jadi kurang awas dengan kesehatanku. Puncaknya kemarin, tak lama setelah rombongan sampai di salah satu villa di puncak, tempat kegiatan kami selama tiga hari ini, aku langsung drop dan semalam demam tinggi.
Dentingan gelas dan sendok terdengar dari sudut kamar. Walaupun baru saja sakit, aku belum pernah merasa sebaik ini.
Bintang jatuh dan kebakaran yang aku rasakan dalam mimpi mungkin karena hatiku memang sedang terbakar. Terbakar api cinta pada gadis manis yang saat ini menyeduh teh hangat buatku.