Aku bermimpi melihat langit malam begitu cerah. Bintang-bintang yang tak terhingga jumlahnya berkedip-kedip genit di atas sana. Di sudut langit yang lain, bulan separuh purnama juga sedang bersolek ria. Langit malam seperti layar raksasa dengan semarak para penari cahaya di latar depannya.
Sebuah bintang bergerak perlahan memisahkan diri dari kawanannya. Semakin lama gerakannya semakin cepat. Lalu aku tersadar, bintang itu sedang terjatuh dengan deras menuju ke arah rumahku.
Semakin dekat, cahayanya semakin terang dan tidak sampai tiga helaan napas kemudian, bintang jatuh itu mendarat dengan keras di bawah jendela kamarku. Suaranya seperti batu sebesar gunung jatuh menimpa bumi.
Lalu dari bawah jendela kamar, asap putih tebal menguar. Bersamaan dengan itu, api mulai melahap separuh kayu jendela. Aku pun berdoa meminta hujan turun sejenak, tapi kemudian teringat awan mendung sedang bertugas di kutub selatan saat ini.
Kinmi pernah berkata, bintang jatuh itu simbol keberuntungan. Aku percaya saja. Tapi saat ini aku setengah percaya, setengah panik, karena api sudah membakar separuh kain korden jendela. Saat pesta api unggun, Kinmi pernah berkata, dia sangat menyukai suasana itu karena api unggun melambangkan semangat dan keberanian.
Api sekarang melahap separuh kamar tidurku. Aku tidak mungkin menunggu awan mendung datang. Ya, dia bisa saja datang dari kutub selatan saat ini. Tapi dia terlalu baik. Dia pasti akan mampir untuk mengguyur seperempat benua Afrika dulu sebelum hadir di langitku.
Aku mulai merasa tersakiti oleh panas api ini. Asap juga semakin pekat dan menyesakkan. Aku kepanasan dan tak bisa bernapas sekaligus. Jangan-jangan aku tidak sedang bermimpi?
Jangan-jangan ...
Jangan-jangan ...
***