Satu orang meninggal saja sudah menjadi peristiwa menyedihkan, terutama bagi keluarga dan orang-orang terdekat. Oleh karena itu kita selalu berusaha semaksimal mungkin agar kematian jangan sampai terjadi. Tapi kematian sudah merupakan takdir. Jadi sebagai orang beriman kita percaya, jika sudah merupakan suratan Tuhan, kematian tidak bisa dihindari lagi.
Itu kalau satu orang. Bagaimana kalau yang meninggal itu lebih dari 500 orang? Tentu kesedihan yang dirasakan lebih besar lagi. Inilah yang terjadi di tanah air kita belum lama ini. Berdasarkan data terakhir dari KPU, sebanyak 469 petugas KPPS meninggal. Sementara petugas pengawas pemilu yang meninggal mencapai 92 orang.
Semua orang yang berbelasungkawa berusaha memberikan simpati dan empati dengan caranya masing-masing. Berbekal kepedulian itulah banyak orang yang kemudian membicarakan kematian mereka. Pembicaraan terus berkembang bahkan sampai menjadi polemik, apa sebenarnya yang menjadi penyebab kematian tersebut?
Isu bahwa petugas KPPS meninggal karena racun pun merebak. Beberapa hari lalu beredar kabar jika Sita Fitriati salah seorang petugas KPPS di Bandung telah meninggal karena salah satu jenis racun. Setelah kabar hoax tersebut menjadi viral dan digoreng kesana-kemari, keluarga almarhumah pun memberi klarifikasi bahwa almarhumah meninggal karena penyakit paru-paru yang sudah lama dideritanya. Setelah menjadi petugas KPPS almarhumah drop, bahkan sempat dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin sebelum meninggal dunia.
Ini salah satu contoh, bagaimana isu yang tidak benar tersebut bisa menjadi sedemikian simpang siurnya. Keluarga almarhumah jadi seperti terluka dua kali. Yang pertama karena kehilangan almarhumah, yang kedua karena isu tidak benar yang beredar tentang kematian almarhumah.
Kemenkes pun merespon berita yang sudah simpang siur di masyarakat dengan merilis 13 jenis penyakit penyebab kematian para petugas KPPS yang diperoleh dari 15 propinsi. Tiga belas penyakit tersebut adalah infarct myocard, gagal jantung, koma hepatikum, stroke, respiratory failure, hipertensi emergency, meningitis, sepsis, asma, diabetes melitus, gagal ginjal, TBC, dan kegagalan multiorgan.Â
Nah, kalaupun ada petugas KPPS yang benar-benar meninggal karena racun, pertanyaan besarnya adalah: Apa motif meracuni petugas KPPS tersebut? Apa hanya iseng saja memberi racun? Atau ada motif lainnya.
Kabar yang biasa terlampir pada unggahan "petugas KPPS diracun" adalah untuk membungkam saksi kunci dari kecurangan pemilu. Jika memang motifnya demikian, apa tidak berisiko membunuh dengan cara memberi racun? Racun yang dimasukkan pada media perantara yang biasa berupa makanan/minuman memiliki risiko salah sasaran. Saat menjalankan tugasnya, petugas KPPS tidak bekerja sendirian.Â
Apa pemberi racun tidak takut racunnya bisa salah sasaran dan malah membunuh orang yang bukan menjadi target? Atau jika pemberi racun benar-benar yakin racunnya tidak akan salah sasaran, bagaimana dia bisa memastikan hal tersebut terjadi tanpa kecurigaan dari korban sendiri atau orang-orang di sekitarnya.
Dan juga jika demikian motifnya, mestinya dalam satu TPS bukan hanya satu orang saja yang diracuni. Semua petugas harusnya menjadi target pembunuhan, karena mereka bekerja sebagai tim dalam mempersiapkan dan menjalankan pemilu di TPS-nya. Semakin absurd, bukan?
Oleh karena itu sebaiknya kita tidak memperpanjang kesedihan keluarga para petugas KPPS yang sudah berpulang dengan terus menerus mencurigai kematian mereka tanpa argumen dan bukti-bukti pendukung yang valid. Jika keluarga para korban mencurigai sesuatu telah terjadi, mereka pun pasti mempersilakan jenazah para korban divisum. Â
Atau... jika ada pembaca yang menemukan jawaban lain dari pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini silakan berbagi di kolom komentar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H