Siang sedang menarik jubah senja di antara awan-awan. Angin beraroma getir bertiup, rasanya seperti meneguk air bercampur empedu. Sepi baru saja meluruhkan riuh rendah manusia-manusia penasaran. Di atas bukit yang dijuluki bukit tengkorak, dua orang penjahat sebelah menyebelah dengan seorang kudus. Ketiganya dijatuhi hukuman paling nista oleh penguasa, mati di kayu salib.
Dalam keadaan paling rendah dan terpuruk, seperti halnya manusia yang lain, penjahat itu pun mencari cara untuk menepis penderitaanya. Dengarlah ucapannya di sela-sela napas yang masih tersisa
Penjahat 1
"Hei, Kamu! Bukankah kamu orang yang biasa melakukan mujizat itu? Bahkan, kabarnya orang yang sudah mati pun bisa kamu hidupkan lagi? Benarkah itu?! Hei! Ayo, mengapa diam saja? Dengan kekuatanmu, mestinya kamu bisa pergi dari sini. Ayolah, bebaskan dirimu, bebaskan aku juga, kamu bahkan bisa membalas perbuatan orang--orang itu, lalu kita pergi jauh dari sini."
Tapi dari mulut seorang penjahat pun kita ternyata masih bisa memetik buah-buah kebaikan,
Penjahat 2
"Jangan bicara begitu! Kita memang patut menanggung hukuman atas perbuatan kita. Sebaliknya, Dia ini tidak bersalah, dia hanya korban kebencian para pemuka agama. Tuan, aku mohon, ingatlah aku jika Engkau sudah sampai ke rumah abadi yang penuh kasih dan kedamaian, seperti yang biasa Engkau ajarkan kepada murid-muridmu."
Wajah orang kudus itu penuh bilur dan gurat kesakitan. Tapi dia masih bisa membalas permohonan penjahat itu dengan senyum yang membuat bukit tengkorak terasa teduh dan damai.
Siang sedang menarik jubah senja. Lagu requiem memenuhi angkasa, tapi pagi yang segera datang akan menggantikannya dengan lagu kemenangan.
--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H