Ibu Jen menyayangi semua anak panti asuhan yang berjumlah dua puluhan orang itu, seperti menyayangi anak kandungnya sendiri. Â Kendati keuangan panti asuhan lebih sering berjalan terseok-seok daripada berjalan mulus, dia bersama lima orang karyawan terus berjibaku mempertahankan kelangsungan hidup tempat itu.Â
Satu hal yang menguatkan ibu Jen dan para karyawan panti asuhan adalah dalam mata bening setiap anak, mereka melihat cercah cahaya dari masa depan, seperti cahaya matahari pagi yang menjanjikan hari yang cerah bagi siapa saja yang memandangnya.
Bagi ibu Jen secara pribadi, tawa ceria setiap anak cukup sudah menjahit luka hatinya akibat kehilangan dua orang anak kandungnya yang masih sangat belia dan suami tercinta karena bencana tsunami besar 12 tahun lalu.Â
Memang luka itu tidak akan pernah benar-benar sembuh, tapi paling tidak kehadiran anak-anak dapat memompakan semangat baru dalam hidupnya dan selalu bisa mengisi relung-relung jiwa yang mendadak hampa setiap kali mengingat peristiwa kelam itu.
Matahari masih bersinar malu-malu saat ibu Jen serta Marni dan Risma, dua orang karyawati panti asuhan sedang memotong-motong sayuran dan memasak air panas untuk sarapan pagi anak-anak yang akan masuk sekolah pagi. Melalui pesawat televisi tua di pojok dapur, mereka mengikuti perkembangan bencana di Palu yang sudah menelan korban ribuan jiwa.
Sesekali mereka mengekspresikan empati yang mendalam saat mendengar berita atau memandang gambar-gambar yang mengiris perasaan.
Aco, salah satu karyawan yang bertugas menjadi tukang kebun merangkap sopir dan teknisi panti asuhan masuk lewat pintu yang menghubungkan dapur dengan ruang makan panti asuhan sambil memberi salam.
Saat membalas salam Aco, mereka terperangah. Di tangan kanannya dia menggendong seorang bocah laki-laki berusia dua tahunan. Anak itu semula bersandar di bahu kanan Aco, tapi langsung berbalik begitu mendengar salam ibu-ibu di hadapan Aco.
Begitu melihat mata anak itu, ibu Jen mendadak terenyak. Cahaya dari mata anak itu lalu langsung menarik kesadarannya jauh, jauh ke masa 12 tahun lalu. Yang lain sedikit kebingungan dibuatnya. Untunglah trance ibu Jen tidak berlangsung lama. Saat sudah menguasai diri kembali, dia langsung mendekat.
"Anak siapa ini, Aco?" tanyanya perlahan.
Aco tersenyum menggoda, "Ya anak saya, Bu."
"Haah! Kamu nikahnya kapan, tahu-tahu punya anak?" celetuk Risma, yang diikuti oleh gelak tawa Marni.
Bu Jen mendekat lalu mengulurkan tangannya ke arah si bocah. Tidak butuh waktu lama, bocah itu membalas dengan hangat dan membiarkan Bu Jen menggendongnya. Sekali lagi dia bertanya, "Anak siapa?"
Aco lalu menarik napas panjang sebelum mulai bercerita. Anak itu ditemukan tujuh hari lalu di antara puing-puing bangunan yang diporakporandakan gempa di kota Palu oleh sepupunya yang berhasil selamat dari bencana. Selama dalam perawatan selama lima hari, anak itu berusaha dihubungkan kembali dengan keluarganya dengan cara menyebar foto dan menyampakan informasi dari mulut ke mulut dibantu oleh para pekerja sosial.Â
Upaya itu tidak membuahkan hasil. Kemudian sepupu Aco berinisiatif membawanya serta saat kembali ke Makassar, terutama setelah mengetahui Aco bekerja di salah satu panti asuhan. Sepupu Aco kesulitan menjaganya sendiri karena masih akan bolak-balik ke kota Palu. Â
"Seperti itu ceritanya, Bu. Saya bersedia menjaga anak ini, hanya saya kan hampir seharian di panti, jadi ya, saya bawa saja ke sini. Nanti kalau sudah mau pulang ke rumah, anaknya saya bawa lagi ..."
Ibu Jen tidak langsung menjawab. Sambil mengelus-elus rambut anak itu, terlihat butiran-butiran bening mengalir dari matanya. Orang-orang di sekitarnya jadi heran, sampai dia berkata lagi,
"Anak ini mengingatkan saya pada Aries, anak bungsu saya yang ... ditelan lautan 12 tahun lalu."
Yang lain jadi mengerti dan mulai ikut terhanyut pada ekspresi bu Jen.
"Siapa nama kamu, Sayang?" tanya bu Jen pada anak itu.
"Jo," anak itu menjawab dengan suara mungilnya.
 "Dia miriiiip sekali. Matanya, alisnya, gesturnya. Ah, Aco, kamu keberatan ndak kalau saya menggantikan posisi mama anak ini?"
"Mama ...," suara lirih bocah itu kembali terdengar.
"Iya, Nak. Nih mama, Sayang," sahut bu Jen lagi.
Wajah Aco berseri-seri.
"Wah, saya malah senang kalau ibu bersedia. Kami sudah melihat bagaimana ibu mengasuh anak-anak ini dengan baik dan penuh rasa sayang. Saya tadi sebenarnya ragu-ragu, karena tahu keuangan panti juga lagi tidak---"
"Sst!" sergah bu Jen. "Selalu ada rezeki dari atas kalau kita tulus, Aco. Kalian sudah lihat selama ini kan? Pertolongan Tuhan selalu ada saat kita butuhkan."
Aco mengangguk-angguk.
Ibu Jen lalu meminta kedua karyawati melanjutkan pekerjaan mereka. Dia sendiri lalu menggendong menggendong bocah itu ke arah taman kecil di luar dapur, sambil menatapnya penuh cinta. Ya, pada setiap bencana paling mematikan sekalipun, selalu ada jejak-jejak kehidupan yang ditinggalkan semesta. Â
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H