Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Hujan yang Melelehkan Kejujuran

14 Desember 2018   21:57 Diperbarui: 14 Desember 2018   22:18 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari https://www.enca.com

Di antara tirai hujan yang semakin rapat, Jaka berlari. Tidak peduli kemeja biru langitnya sudah berubah warna menjadi biru gelap karena menyerap air hujan, juga dingin yang makin menyengat pori-pori, dia terus berlari. Dalam berkali-kali helaan napas, dia menyusuri sudut-sudut kota yang penuh kenangan. Trotoar, halte yang dipenuhi orang berteduh dan gang-gang yang mulai tergenang air.

Saat memotong jalan raya, beberapa kendaraan terpaksa berhenti mendadak membuat suara berdecit-decit di atas aspal. Sebagian pengendara lain membunyikan klakson panjang-panjang karena kesal. Tapi Jaka masih tetap tak peduli. Dia terus berlari membakar seluruh energi yang tersisa.

Setelah melewati sebuah coffee shop yang lengang, Jaka berhenti, lalu tertunduk-tunduk untuk mengisap udara memenuhi paru-paru sebanyak mungkin.

Dia kini berada di depan sebuah toko bunga yang didesain dengan gaya vintage.

"Jaka, kok basah kuyup gini?"

Jaka berbalik ke asal suara bening itu. Di depan pintu kaca toko yang terbuka, hadir gadis manis berwajah tirus, pemilik toko. Untuk sejenak, suara hujan yang menyirami bumi mereda. Tirai hujan mulai lebih renggang.

"Winda... winda, aku pengen ngomong sama, sama kamu," sahut Jaka terbata-bata. Irama jantungnya masih berantakan.

Gadis manis bernama Winda itu mengernyitkan kening tanda terheran-heran.

"Kamu? Eh, ayuk masuk dulu ke da---"

"Winda, aku cinta sama kamu! Aku sayang sama kamu, Win!"

Hujan kini benar-benar berhenti berbunyi.

"Maaf, selama ini aku berusaha menganggap kamu sebagai sahabat. Tapi sekarang aku harus jujur sama kamu."

Saat hujan berhenti menitik, tetes bening justru jatuh dari tatapan nelangsa Winda.

"Kenapa, kenapa baru ngomong sekarang, Jaka? Kamu kan tahu, aku nikah seminggu lagi," tuturnya lirih.

"Ya, aku memang bodoh, Win. Selama ini selalu menyembunyikan perasaan aku yang sebenarnya. Aku tidak berharap apa-apa, aku hanya pengen kamu tahu itu, Win."

Jaka tertunduk, lalu suara hujan mulai menggema lagi.

"Minggu depan, aku pindah tugas ke Manado, jadi ... minta maaf tidak bisa hadir di pernikahan kamu dan Doni."

"Jaka ... kamu ...," Winda tak bisa meneruskan kata-katanya dan menutupu wajah untuk menahan air mata yang makin menderas.

***

Di antara tirai hujan yang semakin rapat, Jaka berlari. Tidak peduli air mata getir telah jatuh berderai-derai dan hati seorang wanita mungkin saja sedang terluka. Dalam berkali-kali helaan napas, dia menyusuri sudut-sudut kota yang penuh kenangan. Gang-gang yang tergenang air, halte yang dipenuhi orang berteduh dan trotoar yang menuntunnya kembali ke tempat kerjanya.

--- 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun