"Maaf, selama ini aku berusaha menganggap kamu sebagai sahabat. Tapi sekarang aku harus jujur sama kamu."
Saat hujan berhenti menitik, tetes bening justru jatuh dari tatapan nelangsa Winda.
"Kenapa, kenapa baru ngomong sekarang, Jaka? Kamu kan tahu, aku nikah seminggu lagi," tuturnya lirih.
"Ya, aku memang bodoh, Win. Selama ini selalu menyembunyikan perasaan aku yang sebenarnya. Aku tidak berharap apa-apa, aku hanya pengen kamu tahu itu, Win."
Jaka tertunduk, lalu suara hujan mulai menggema lagi.
"Minggu depan, aku pindah tugas ke Manado, jadi ... minta maaf tidak bisa hadir di pernikahan kamu dan Doni."
"Jaka ... kamu ...," Winda tak bisa meneruskan kata-katanya dan menutupu wajah untuk menahan air mata yang makin menderas.
***
Di antara tirai hujan yang semakin rapat, Jaka berlari. Tidak peduli air mata getir telah jatuh berderai-derai dan hati seorang wanita mungkin saja sedang terluka. Dalam berkali-kali helaan napas, dia menyusuri sudut-sudut kota yang penuh kenangan. Gang-gang yang tergenang air, halte yang dipenuhi orang berteduh dan trotoar yang menuntunnya kembali ke tempat kerjanya.
---Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H