"Oh, iya dong. Sudah pasti. Jangan sampai gak dikasih izin ya. Kasihan panah asmaranya... nganggur!"
Inggrid tersenyum lagi.
***
Hujan mengguyur kota tanpa ampun. Daun-daun pepohonan sampai tertunduk-tunduk tak mampu menahan derasnya tumpahan air dari langit.
Inggrid menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur dengan lesu. Sesekali dilihatnya guyuran hujan dari balik kaca jendela, berharap hujan di luar sana ikut merasakan kesedihannya.
Papa dan mamanya tidak memberi izin, itulah penyebab semesta terasa suram dan hilang makna. Bukan saja karena mereka belum percaya sepenuhnya pada Anggoro, kendati mereka sudah mendapat penjelasan paling meyakinkan tentang tour itu. Adik papa Inggrid, alias om Inggrid yang bekerja sebagai peneliti di New Zealand akan pulang ke tanah air selama beberapa hari. Kesempatan ini jarang sekali terjadi, sehingga papa Inggrid tidak mau Inggrid kemana-mana dulu saat omnya itu datang berkunjung.
Ah, kebetulan memang kadang-kadang menyakitkan.
Have a nice trip ya, Mas
Demikian whatsapp terakhir Inggrid yang nampak belum dibaca oleh Anggoro. Entah karena sedang tidak membuka HP atau memang sedang memasuki kawasan blind spot.
Sementara itu di atas bus yang sudah berlari puluhan kilometer meninggalkan Jakarta, Anggoro nampak semringah di samping seorang cewek manis bernama Chika. Chika adalah salah satu peserta tour, namun keduanya sudah saling kenal karena sekelas saat SMP. Rupanya keduanya saat SMP menjalin cinta monyet dan berpisah saat Anggoro melanjutkan SMA di Jakarta. Seiring perjalanan panjang itu, mereka bercerita lepas memanggil keping-keping memori yang sudah terpendam bertahun-tahun lamanya. Sesekali keduanya tertawa berderai-derai, sesekali saling tersipu malu dan sesekali saling mencubit mesra. Â
Cupid yang sudah mempersiapkan panah asmaranya pun jadi bingung dengan kebetulan demi kebetulan ini.